September 2, 2009 - Kisah Mama Bersanding Kembali dengan Papa

Hatiku masih gerimis, luka dan dukaku masih dalam hari ini.

Tepat hari itu, hari Rabu, seminggu yang lalu, tepatnya tanggal 2 September 2009, Mama tercinta, pergi mendahului kita semua, dengan tiba-tiba dan tragis.

Tanggal 1 September 2009
Mama janjian datang ke kantor aku di Sudirman untuk bertemu dengan Notaris yang mengurusi penjualan rumah Mama di Petukangan Selatan beberapa tahun yang lalu. Rumah itu sudah berpindah tangan sudah lama, tetapi untuk keperluan pindah nama, masih membutuhkan tanda tangan Mama, aku dan Yudis, adikku sebagai pemilik dan ahli waris.


Setelah urusan selesai, karena kebetulan aku sedang berhalangan puasa, maka aku mengajak Mama makan siang di cafe dekat kantorku. Semuanya biasa saja, kecuali Mama nyaris tidak menyentuh spaghetti pesanannya, “tidak nafsu makan” ungkapnya ketika aku tanyakan.

Setelah itu Mama berniat pergi ke Pasar Minggu, ke rumah teman Mama yang sedang kurang sehat. Namun malamnya, saat aku bertemu Mama di rumah, ternyata Mama belum jadi mendatangi, malah akhirnya mampir di Japan Club.

Tanggal 2 September 2009
15.00 - gempa bumi, lantai 12 tempatku bekerja di Wisma Tamara Sudirman begoyang goyang, sehingga semua pegawai di-evakuasi turun ke lantai bawah, melalui tangga darurat. Terasa pusing memang, tapi aku tidak panik, aku sempat membawa laptop dan tas tanganku (siap pulang, kalau ternyata dipulangkan :)). 12 lantai turun tangga - untungnya sedang berhalangan puasa, ngos-ngosan juga tetap. 1/2 jam kemudian ada pengumuman dari HR Director bahwa karyawan diminta meninggalkan kantor demi keamanan.


18.00 - aku dan team finance baru bisa meninggalkan kantor karena sedang closing.

19.51 - aku sudah berada di dekat Mekarsari, sekitar 10 km lagi dari rumah, hp-ku berdering, dari Mama (tertulis Okasan).

Mama: “Ishogashi desuka?” (artinya “masih sibuk ya?”) - memang biasanya sekitar pukul segitu aku masih di kantor.

Aku: “Gak Mah, Yudi sudah di jalan, sudah mau sampai rumah, tadi ada gempa bumi jadi dipulangkan cepat, kenapa Mah?”

Mama: “Yaaahh…..Mama mau ikut pulang, Mama di Pasar Minggu, di rumah Tante Toshiko Daud, kan mau nengokin yang sakit itu, kamu sudah pulang ya?”

Aku: “Yah Mama, kok gak telpon dari tadi, jadi Yudi bisa jemput ke sana, abis Yudi gak tau Mama pergi, gimana ya? Mama naik taksi aja ya?”

Mama terdiam sejenak, lalu berkata: “Ya sudah, gapapa kok gampang, bye…”

Bagi yang mengenal Mamaku, pembicaraan itu tidak terlalu aneh, karena begitulah Mama, sangat mandiri dan kemana-mana masih kuat sendirian. Bila Mama bepergian hari Sabtu atau Minggu, pastinya aku atau suami akan mengantarkan, tetapi bila di hari kerja, Mama terbiasa jalan sendiri.

10 menit kemudian, hatiku tidak enak, aku berfikiran untuk menjemput Mama saja di rumah Tante, baiklah aku telpon dulu supaya Mama menunggu 1-2 jam, karena memang tempat tinggal kita jauh, dan karena tanggung sudah dekat rumah, aku mau pulang makan mandi dulu, baru jemput Mama.

20.01 - aku menelpon Mama dari jalan karena belum sampai rumah, tidak diangkat.

20.20 - telpon rumah berdering, aku sedang ditengah makan malam, anakku Aisyah menerima dan langsung memberikan padaku.

Suara asing: “Ini benar rumah Ibu Chadidjah?”
Aku: “Iya benar, ini siapa?”
Suara asing: “Ini siapanya Ibu Chadidjah?”
Aku: “Saya anaknya, ada apa Pak?”
Suara asing: “Ibu Chadidjah tertabrak kereta api!”
Aku: “Yang benar Pak, jangan bercanda!” - aku mulai deg-degan, air mataku sudah mengambang.
Suara asing: “Benar Bu, di Pasar Minggu”
Aku: “Bagaimana keadaannya?” - rasanya aku sudah tidak menapak di lantai, sambil tangan kiri masih memegang piring makanku yang belum habis.
Suara asing: “Ibu sudah tiada”


Meledaklah tangisanku, namun segera aku kendalikan diri, dan aku masih sempat menayakan nama dan nomor telponnya, kemudian aku serahkan telpon ke suamiku untuk menanyakan alamat lengkap dan kejadiannya.

Tidak kuselesaikan makanku, masih mengenakan pakaian kerja, aku dan suami segera ke tempat kejadian. Namun karena memang jaraknya jauh, aku segera menelpon adik, keluarga dekat, dan beberapa teman dekat, terutama temannya Mama yang tinggal di dekat situ untuk mengidentifikasi dan mengurusi dulu.

Malam itu, jam 20.30 berangkat dari Jonggol ke Pasar Minggu, adalah perjalanan terpanjang rasanya dalam hidupku. Hatiku bergejolak, sedih dan tidak percaya, berharap beritanya salah, airmataku tidak berhenti mengalir, namun aku harus menguasai diri untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan yang paling mengerikan sekalipun.

Malam itu sungguh malam yang mencekam, penuh dengan ledakan tangisan dan harus tetap tegar mengurusi banyak hal.

Karena Mama meninggal di tempat karena kecelakaan, maka prosedur yang harus dilewati adalah berurusan dengan polisi setempat, dan kamar mayat RSCM.

Dan sudah menjadi rahasia umum, berurusan dengan kantor pemerintahan yang masih banyak oknum yang senang mengambil kesempatan dalam kedukaan/musibah orang, dan semua UUD, maka memang malam itu sungguh malam yang menegangkan.

Dari ketakutan bahwa jenazah Mama hancur dan tidak terindentifikasi, tidak diurus dengan baik, sampai sungguh dipersulit untuk mengeluarkan jenazah Mama dari RSCM, benar-benar menguras emosi sampai ke titik batas, dan ditambah kesedihan mendalam dan shock.

Ketakutanku yang pertama, tidak terjadi, Alhamdulillah.  Jenazah Mama masih utuh, hanya ada luka sangat dalam di pilipis kanan, dan sepertinya ada pendarahan di kepala, karena darah terus mengalir dari telinga dan hidung.  Rupanya Mama bukan tertabrak kereta api, tetapi terserempet mungkin hanya anginnya, dan jatuh mengenai batu tajam.  Menurut saksi mata, Mama meninggal di tempat kejadian.  Semoga Mama tidak merasakan sakit.

Jam 1-2 dini hari, aku dan keluarga baru berhasil mengeluarkan Mama dari RSCM, itupun dengan bersitegang sangat keras dengan petugas jaga dan dokternya.  Sedih rasanya membayangkan bagaimana orang-orang yang lebih kurang beruntung dari kami, mengurus jenazah, selain dipersulit, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Aku ikut ambulance, ingin segera pulang dan memandikan Mama.  Aku sudah berniat, aku akan memandikan jenazah Mama, sebagai bhaktiku terakhir pada beliau.

Sungguh aku tidak mengerti darimana kekuatan yang aku dapatkan, sejak malam itu aku menerima kabar, hingga Mama diurus kepulangannya, dimandikan, dikafani, dibacakan doa dan ayat-ayat suci Al Qur’an, disholatkan, dan dikuburkan tepat berdampingan dengan Ayahanda, seperti permintaan beliau, dan kemudian mengadakan tahlilan malamnya, aku tidak istirahat, tidak tidur, terus mengurusi semuanya.  Hampir 3 hari kita tidak tidur.  Aku, suamiku, adikku dan istrinya.

Salah satu hal yang menguatkan kami adalah, begitu banyak yang membantu dan datang ke rumah untuk melayat, para tetangga, satpam komplek mengurusi urusan tenda, dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan kematian, teman-teman di kantor jauh-jauh menyempatkan datang dan memberikan kekuatan, demikian juga teman-teman sma, teman-teman kuliah, teman-teman adikku, teman-teman Mama, dan ada keluarga dari kalimantan menyempatkan datang.

Aku belajar, bahwa bhakti terakhir kepada orang tua yang mendahului kita adalah, mengurusi prosesi kematiannya dengan baik sampai segera dikuburkan, dan memanjangkan tali silaturahmi almarhumah.

Alhamdulillah, telah aku jalankan semua dan sampai dimakamkan di sebelah makam papa, walaupun agak sulit awalnya, karena tempat pemakamannya sudah sempit dan harus menggali sebagian kuburan papa, dan harus membawa tukang gali dari rumah kami, karena yang di sekitar sana tidak berani, di Pemakaman Desa di Cipayung, Bogor.

Papa terkasih,  kami hantarkan Mama kembali ke sisimu setelah 36 tahun terpisah.

Nyaris sulit dipercaya kini aku sudah tidak memiliki Ayah dan Ibu, hanya tinggal berdua adikku.

Namun Allah tidak pernah meninggalkan hambanya yang mengasihi-Nya, aku tidak pernah sendirian, begitu banyak sahabat baik di sekelilingku, yang care dan sayang padaku, terima kasih ya Allah.

Ya Allah Yang Memiliki Kehidupan, Kau panggil Mama kembali ke sisi-Mu, dengan sangat tiba-tiba dan dengan jalan yang tragis.  Tidaklah mungkin tanpa rencana, tidaklah mungkin tanpa alasan.  Berilah aku kekuatan dan kesabaran untuk segera dapat memahami rahasia-Mu.

Sedihku begitu menyakitkan ya Allah, namun kulakukan semua yang harus kulakukan, terutama tetap tegar dan terkendali.

Ampunilah segala dosa-dosa Mama, juga papa, dan mudahkanlah jalan mereka berdua mendapatkan tempat yang baik di sisi-Mu.  Titip Mama dan juga papa ya Allah.  Kasihi dan cintai mereka seperti mereka mengasihi dan mencintai aku di waktu aku kecil hingga saat terakhir.

Amin. Amiin ya robbal alamin


 

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng