November 28, 2008 - Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing

Pada hari minggu lalu, aku, suami, anak-anak dan Mama pergi makan siang di Bandar Jakarta, untuk menikmati sea-food segar dan udara pantai Ancol.

Dalam perjalanan menuju ke sana, kami membicarakan mengenai satu keluarga saudara kami yang sedang ada sedikit permasalahan suami istri, kami sekeluarga memang biasa membicarakan segala permasalahan bersama.

Jadi sang suami dan sang istri kerap berselisih karena permasalahan yang menurut kami, “kurang prinsip”, dan seringkali pemicunya adalah karena ego masing-masing.  Mereka sudah berumah tangga 12 tahun, dikaruniai 3 anak, tetapi masih saja kadang satu sama lain saling menyalahkan.

Kemudian aku mengatakan, “Mereka itu belum sampe pada prinsip -berat sama dipikul ringan sama dijinjing- dalam berumah tangga.  Namanya sudah bersuami istri, semua persoalan ya harus ditanggung-jawabi oleh kedua pihak bersama-sama.  Tidak bisa dipisah-pisah dan masing-masing.  Urusan rumah tangga ya bukan tanggung jawab sang istri saja, sementara sang suami lepas tangan, dan sebaliknya urusan keuangan dan hal berat lainnya juga bukan tanggung jawab sang suami semata, sementara sang istri tinggal minta, iya kalau ada…kalau tidak ada? atau tidak cukup? Jadi semua persoalan dari yang terkecil hingga yang terberat ya tanggung-jawab bersama”

Begitu aku panjang lebar “menyimpulkan” persoalan pasangan suami-istri saudara kami tersebut, berdiskusi dengan suami dan Mamaku.  Tiba-tiba anakku yang kecil, yang masih berumur 7 th, Almas, menyeletuk, “Ibu udah sampe belum?”

Karena tidak menyangka bahwa anak-anakku ternyata ikut menyimak pembicaraan kami, aku agak kurang konsen, aku tanyakan lagi, “Sampe kemana, Almas?”

“Itu…yang tadi, yang berat sama dipikul ringan sama dijinjing dalam berumah tangga?” kata Almas dengan polos.  “Itu peribahasa kan, Bu?”

Glek….aku langsung melirik suamiku melalui kaca spion (bila Mama ikut bepergian, biasanya beliau yang duduk di depan).  Dan kita berdua tersenyum kecut.  Waduh…. anakku menanyakan pertanyaan sederhana yang jawabannya tidak bisa sederhana.

Lalu aku jawab, “Hm, Almas….pertanyaannya bagus sekali” (sambil berfikir keras jawaban yang pas). 

Lalu aku berkata, “Kalau dalam rumah tangga, Ibu tidak bisa menilai diri Ibu sendiri, apakah Ibu sudah sampai atau belum, Almas harus menanyakan sama Ayah, apakah Ibu sudah sampai atau belum.”

Dengan cepat Almas bertanya pada Ayahnya, “Ibu udah sampe belum, Ay?”

Suamiku melirik aku melalui spion, dan tersenyum, “Alhamdulillah Mas, Ibu sudah sampai…”

Kekanak-kanakannya yang tidak cepat puas, dia menyambar lagi dengan cepat, “Lebih gak, Ay?”

Suamiku tertawa, “Iya Almas….Ibu sudah lebih dari sampai….Alhamdulillah”

Belum puas rupanya, kemudian aku yang dikejar, “Ibu, kalau Ayah udah sampai belum?”

Aku tersenyum, “Alhamdulillah, Ayahpun sudah sampai, sudah lebih malah, Ibu bersyukur sekali.”

Kemudian, naluri “motivator”ku keluar….:)

Aku teruskan, “Almas dan Aisyah, kalau ukurannya apakah suami dan istri sudah sampai pada prinsip ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul dalam rumah tangga, yang menilai adalah pasangannya, tetapi indikatornya adalah kalian, apakah kalian bahagia menjadi anak-anak Ayah dan Ibu? Apakah kalian telah merasakan rumah adalah tempat ternyaman? Dan selalu ingin pulang.  Apakah kalian merasa beruntung memiliki Ayah dan Ibu ini, dan tidak sering merasa sepi di rumah?”

“Bagaimana, kalian bahagia?”

“Bahagiaaaa……..” jawab Almas dan Aisyah berbarengan.

Dan kemudian, aku teruskan dengan menggelitiki mereka dan tertawa bersama. Penuh rasanya rongga dadaku dengan kebahagiaan, Alhamdulillah

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng