March 31, 2009 - Marabahan: Akhirnya Aku Pulang

Tulisan ini adalah sepenggal tulisan yang kutulis sepulang perjalananku “Pulang Kampung” akhir 2007 lalu:

Catatan Perjalanan ke Pulau Borneo 18 Desember 2007 – 1 Januari 2008


Catatan sederhana ini aku persembahkan kepada almarhum Ayahanda H. Kasuma Yuda terkasih, yang telah menjadi inspirasi bagi banyak orang dan menjadi kebanggaan seluruh keluarga.







18 Desember 2007, 2 hari menjelang Idul Adha 1428H, kami berempat, Yoga suamiku, Aisyah dan Almas sejak pagi sudah bersiap-siap pergi ke Bandara Soekarno Hatta.  Kami memang agak santai, karena Flight 7P-261 Batavia Air menuju Banjarmasin baru akan take off pukul 18.05.

Feeder busway Citra Indah berangkat pukul 10.30 melaju sepanjang jalan Jonggol-Cileungsi-Cibubur-Ratu Plaza Sudirman membawa kami ke awal liburan akhir tahun 2007 ke Pulau Kalimantan, kampung halaman yang tak pernah aku injak sejak 30 tahun lalu.

Penerbangan kami melewati 1 jam perbedaan waktu, kami mendarat pukul 21.00 Wita di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, disambut senyuman ramah Kak Diyat, sepupuku yang sangat baik, yang kemudian menjadi tour guide dan tuan rumah kami selama 9 hari, mengunjungi berbagai tempat di Kalimantan Selatan, dimana Acil (red:bibi) dan sepupu-sepupu tinggal.


Perjalanan menuju Marabahan memakan waktu sekitar 3 jam, dan harus menyeberangi Sungai Barito dengan menggunakan feri.  Sebetulnya sudah dibangun jembatan penghubung sampai ke Marabahan, Jembatan Rumpiang, tetapi saat itu belum bisa digunakan, rencananya akan diresmikan pada bulan Maret atau April 2009 nanti.



Marabahan adalah kota kecil di tepi Sungai Barito, berasal dari kata ”Muara Bahan”, karena pada zamannya Marabahan merupakan tempat pelabuhan penting bagi perdagangan di wilayah Kalimantan Selatan. 

 
Puluhan tahun yang silam, Ayahanda tercinta, almarhum H. Kasuma Yuda (alias Ahmad Aini), adalah salah satu orang terpenting yang memungkinkan desa Marabahan menjadi sebuah Kabupaten, dengan membeli tanah seluas 2×5 km untuk dijadikan area transmingrasi. Beliau juga menyewa pesawat dan membiayai para transmigran dari Pulau Jawa agar jumlah populasi penduduk di desa itu mencukupi untuk dijadikan sebuah Kabupaten.  

Beliaupun membangun dermaga di tepi sungai Barito, tepat di depan rumah, untuk tujuan bisnis.  Begitulah cerita yang aku dengar.  Seorang mantan perwira Angkatan Darat, pengusaha sangat sukses, salah satu pemilik Gesuri Llyod, dan berbagai perusahaan lain, anak desa Marabahan, menjadi kebanggaan masyarakat Marabahan, karena pengabdiannya yang luar biasa bagi kemajuan desanya.  Kabarnya, pada setiap Ulang Tahun Kota Marabahan, nama Ayahanda masih sering disebut-sebut, walaupun semakin lama semakin memudar, karena disaingi oleh orang lain untuk tujuan kepentingan politik. 

 Sayangnya sepeninggal Ayahanda, semua perusahaan beliau tidak ada yang meneruskan dan tergadai karena ketamakan dan ketidak-bijakan. Kini semua tinggal kenangan, tinggal cerita, namun kebaikan dan kehebatan Ayahanda senantiasa hangat dalam ingatan seluruh keluarga besar.  Aku yang tumbuh besar tidak dekat dengan keluarga besar, hanya mengetahui sangat sedikit cerita mengenai Ayahanda sebelumnya.  

Ayahanda tercinta, aku anakmu, memang tidak pernah mengenalmu, kecuali wajah gagahmu dari foto-foto yang masih tersimpan.  Sejak aku berusia 3 tahun Engkau telah dipanggil-Nya. Kini, hari ini, aku pulang……. menyusuri desa kelahiranmu, dan mendengar semua cerita hebat mengenai dirimu dari sepupu-sepupuku, membuat aku sangat bangga dan terharu. 
Semoga damai menyertaimu wahai Ayahanda, di alam sana.  

Malamnya adalah Malam Takbiran, takbir menggema di mana mana, terdengar pula dari seberang sungai sana.  Ya, rumah Kak Diyat dimana kami akan tinggal selama liburan ini, berada tepat di tepi Sungai Barito, tidak sampai 10 m dari batas sungai ke teras rumah.  






Sungainya sangat luas, lebar sungainya mungkin mencapai 600 m sampai 1 km, klotok (angkutan perahu) dan tongkang batubara hilir mudik di depan rumah.  Saat senja, ronanya kekuningan, dan saat pagi, ronanya kebiruan, sungguh suasana yang membuat hati ini luluh.  

 

Tak bosan-bosan aku memandangi sungai Barito dari teras rumah, sungai yang membawa aku pulang…….. ya aku pulang kampung…… aku tidak pernah ”pulang kampung” selama 37 tahun, karena aku merasa tidak punya kampung halaman sebelum ini.  

Sejak aku kecil, aku dan adikku sering berpindah-pindah dibawa Mama, yang harus bekerja keras sendirian sebagai single Mother membesarkan kami, aku dan adikku, Yudis.  


Saat kecil kami tinggal di Cipayung Bogor, sejak Ayahanda meninggal, lalu kami berpindah ke Bogor kota, kemudian beberapa kali pindah, sampai aku kelas 5 SD. Lalu kami pindah dan menetap di Jakarta, di Petukangan Selatan, Kebayoran Lama, dimana aku dan adik menghabiskan masa SMP, SMA, sampai lulus kuliah, dan menikah.  

Setelah menikah aku dan suami membeli rumah di kawasan pinggiran Jakarta, di Citra Indah, Jonggol. Setiap Lebaran, saatnya orang pulang kampung, aku ”hanya” pulang ke kampung halaman suami di Sukabumi, atau berlebaran bersama Mama.  

Aku tidak pernah merasakan ”pulang kampung”. Namun saat ini, di tepian Sungai Barito, dikelilingi keluarga besar dari Ayahanda, di kota kecil Marabahan, aku pulang….. Aku punya kampung halaman, hatiku gerimis, hatiku luluh, kedamaian meresap di setiap relung hatiku……


Akhirnya Aku Pulang…..


Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng