Finding The Right Man

Judulnya agak berat ya? Gak kok, tulisan ini hanya tulisan ringan yang terinspirasi dari kisah-kisah cinta anak abegeku.

 Bicara "Finding the right man", pastinya bicara cinta.  Nah, dari wikipedia Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut.

Aku termasuk orang tua yang menganut aliran membolehkan anak-anakku pacaran saat mereka sudah mulai ada perasaan terhadap lawan jenis.  Kenapa? Karena menurut aku, cinta adalah perasaan yang tidak bisa dilarang, tidak juga bisa disuruh/dipaksa.  Untuk meng-eliminasi kekhawatiran orang tua pada umumnya tentang anak remajanya yang mulai berpacaran, aku dan suami memberikan rambu-rambu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan saat berpacaran.

Dan karena hubungan kami sangat dekat, dan berdasarkan kepercayaan, maka kontrol lebih mudah dilakukan dan sang anakpun memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan yang kami berikan.

Alasan kedua adalah, aku merasa bahwa anak yang tumbuh dengan perasaan yang sehat mengenai cinta (terhadap lawan jenis), dan juga bisa belajar dari proses yang dialami, akan lebih siap menghadapi kehidupan ini dimana cinta muncul dengan berbagai wajah dan tidak semua baik dan menyenangkan.

Aku bilang sama anakku, siap jatuh cinta adalah siap merasa senang dan siap merasa sakit.  Laki-laki adalah alien, mahluk asing yang datang dari planet lain, dengan komposisi hormon yang berbeda, sehingga mengakibatkan berbedanya cara berfikir, cara memandang sesuatu, cara menyelesaikan persoalan dan cara berkomunikasi dengan lawan jenis (perempuan).

Itulah mengapa banyak anak-anak abege yang baru belajar menjalin hubungan dengan lawan jenis, mengalami kegalauan, mengalami kebingungan dan mudah untuk putus nyambung karena hal yang sangat sepele.

Dan juga harus dipahami bahwa pacaran anak abege itu bukan dalam rangka mencari pasangan hidup, sehingga kadang orang tua terlalu jauh berfikir saat sang anak mulai berpacaran.  Mereka hanya mencari teman yang lebih dekat dari teman-teman lain, seseorang yang memperhatikan, dan seseorang tempat berbagi cerita sehari-sehari.

Pacar anakku yang pertama, dengan perbedaan umur terlalu jauh dan karakter sang pacar yang posessif, suka memaksakan kehendak, otoriter, membuat anakku takut.  Takut dia marah, takut dia ngambek, bahkan pada saat sang pacar melakukan sesuatu yang tidak disukanya, tidak berani dikomunikasikan sehingga jadi terpaksa melakukan.  Buntut-buntutnya jadi sering menangis, tertekan, tidak punya teman (karena dilarang berteman), dan bahkan saat meminta putus-pun, tidak boleh dan membutuhkan bantuan kita sebagai orang tua untuk putus.  Bahkan setelah putuspun, sang pacar pernah menunggu di sekolah atau di depan rumah dan membuat anakku ketakutan.  Walaupun akhirnya mereka bisa ber-say hello setelah sekian lama, namun pada saat kejadian lumayan membuat trauma.


Pelajarannya, saat suatu hubungan sudah menjadi menakutkan, itu bukan lagi cinta, tetapi ada pemaksaan kekuasaan, dan itu tidaklah sehat.  Apabila hubungan seperti itu tidak disudahi, maka pihak yang tertekan akan kehilangan kepercayaan dirinya dan hubungan yang terjalin bukannya membawa kebaikan, justru akan merusak secara psikologis.

Yang kedua, adalah yang paling dalam. He is her real first love. Bahkan proses menjadi pacar pun membutuhkan waktu lama.  Dia adalah segalanya, pada saat itu.  Tulisan-tulisan anakku di blognya sangat menggambarkan keindahan cintanya, keindahan cinta mereka.  Pacarnya sangat menjaga perasaan anakku.  Dengan kesederhanaannya, dia mengajarkan hal-hal baik mengenai hubungan lawan jenis, mengenai saling menghormati dan menjadikan hubungan mereka untuk menjadikan mereka orang yang lebih baik.

Mereka bisa saling mempengaruhi kebaikan, saling memberikan semangat dan saling mendukung.  Memang banyak perbedaan di antara mereka, dari latar belakang, cara berfikir, pergaulan dan bagaimana mereka dibesarkan dalam keluarga.  Sehingga sedikit banyak akan menimbulkan konflik perasaan, walaupun mereka dengan baik bisa saling pengertian, namun tetap saja ada sesuatu yang mengganjal, sepertinya.


Setelah 2 tahun, akhirnya hubungan mereka berakhir.  Bagus sekali penggambaran anakku dalam melihat berakhirnya hubungan mereka: ini aku kutip dari tulisan di blog anakku:

If you ask me is it hard? my answer is yes, it's hard. It's so hard for me to know that we can't be together anymore. It's even harder to accept that I am the one who should end it.  If someone ask me, who's leaving? My answer is love, it's not you leaving me or I leaving you, love is leaving us. If you ask me, do I still love you? Yes I am! I still love you, but in different way now, my feeling is not same anymore like when you propose me to be your girlfriend.

People asking, and maybe you, too, why I decided to break up if I still love you? Time past, things changed, there are things that can't be explained by word, and it's called feeling.  I don't mind to go through hard time with you, but it's not worth it anymore. It's not because of you, I just can't, it's about me, I can't do this anymore.  I love you, I love you so much, but it's not worth it if deep in my heart lately, I am hurt.  There are few things that makes us feeling bad, and the things can't be fixed.

Begitulah, aku selalu katakan pada anakku bahwa dia masih muda, pacaran baginya sekarang adalah untuk have fun, untuk saling mendukung menuju cita-cita masa depan, untuk saling memberikan kekuatan.  Dan bila point-point itu tidak dirasakan, maka it's not worth it. Wong, hidup itu tidak akan menjadi lebih mudah semakin kita dewasa, maka sayang apabila pacaran di masa muda bikin hidup lebih berat/susah, justru harusnya bikin senang, bikin ringan, bikin happy.

Aku bangga, bahwa setelah beberapa bulan pertimbangan, berfikir, aku mengetahui betul susahnya, dalamnya perasaannya, akhirnya dia mampu mengambil keputusan itu.  There is beyond hurt in considering to make decision, and she can do it, I am so proud of her.

Pelajarannya, se-sayang apapun kita dengan sang pacar, apabila memang sudah tidak membawa kebaikan, tidak mendukung cita-cita dan masa depan, membuat lebih banyak air mata daripada tawa, maka harus berani untuk meng-akhiri.

Nah...yang sekarang ini lain lagi ceritanya.  Dia adalah pengagum anakku sejak SD, namun pisah SMP dan SMA.  Tidak melalui proses pedekate, namun langsung tembak.  Dan ndilalah, anakku yang lagi morang-maring mulai membiasakan diri sebagai jomblo, dengan pertimbangan yang kurang matang, diterima saja.

Seminggu sih sudah mempertimbangkan, namun alasan diterimanya bukan karena cinta, namun karena "mungkin nanti bisa cinta".  Sepertinya tidak ada alasan untuk menolaknya, orangnya tinggi ganteng, romantis (salah satu hal yang didamba-dambakan anakku, karena pacarnya sebelumnya tidak romantis), behave, berwawasan luas karena senang membaca banyak buku-buku lumayan berat, suka filosofi, perasaannya dalam, salah satu orang tuanya adalah bule dan yang paling susah ditolak adalah, pacarnya ini sangat sayang pada anakku.  He will do anything for her, istilahnya.

Awal yang terlalu cepat, dan limpahan tumpahan cinta yang bagai air bah, justru membuat anakku jadi risih.  Bingung karena dari pengalamannya, yang namanya cinta itu harusnya datang perlahan-lahan dan mendalam seiring hubungan/komunikasi yang terjalin.

Sang pacar yang kadang khawatir berlebihan, juga membuat anakku jadi merasa too much.  Ada perasaan bersalah, bahwa dia merasa belum bisa memiliki perasaan sayang/cinta sebesar pacarnya mencintainya.  Ada perasaan takut dianggap memanfaatkan dan tidak enak karena anakku sedang sibuk-sibuknya dengan urusan pecinta alamnya sehingga hampir tidak punya waktu untuk sang pacar.

Biarlah anakku mempertimbangkan dari A sampai Z, apa yang terbaik baginya.

Pelajarannya, kembali lagi, pacaran di saat remaja seharusnya adalah menyenangkan, ringan dan membuat hati melayang terbang happy.  Memang tidak mudah membina suatu hubungan sesederhana apapun.  Aku mengajarkan anakku mengenai loyalitas, kejujuran, tidak boleh mengkhianati, tidak boleh selingkuh, tidak boleh mudah menyerah, menjadi pribadi yang baik untuk mendapatkan pacar yang baik, selalu memperbaiki diri, berkomunikasi dengan baik, dan ujungnya adalah kedamaian hati (tidak sering galau).

Semoga anakku bisa mengambil pelajaran berharga dari setiap langkahnya dalam membina hubungan cinta dengan lawan jenis seumurnya, agar dia juga bisa belajar untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik berdasarkan logika dan hati nurani. 

Karena pada waktunya nanti, pada saat dia sudah mencapai umur mendapatkan pasangan hidup, sudah lebih mengenal mahluk alien yang bernama laki-laki dan mendapatkan dan memilih yang terbaik untuk menjadi pendampingnya seumur hidup.  Untuk mencapai itu, pertama dibutuhkan adalah menjadi pribadi yang terbaik juga, karena hanya pribadi wanita yang baik yang akan mendapatkan laki-laki terbaik.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng