Asap Beracun

 “Uhuk…uhuk….” Aku terbatuk-batuk keselek asep, di kamarku.

Saat itu, sekitar tahun 1985-1986, aku kelas 3 SMP (sekarang disebut kelas 9), saat aku mulai ‘belajar merokok’. Aku ingat, butuh waktu hampir 2 minggu sampai aku tidak lagi merasa pusing saat nikotin mulai memasuki paru-paruku, ke darahku dan sampai ke kepalaku. Dan kemudian aku menjadi perokok aktif selama 34 tahun.

Dulu, Mama almarhum adalah juga perokok aktif, dan menjadi ‘contoh yang salah’ karena Mama masih sangat sehat sampai usianya 74 tahun dan meninggal di tahun 2009 karena kecelakaan. Mama selain merokok, selalu memperhatikan makanan yang sehat dan hampir setiap hari berolah raga (berjalan kaki sebisa mungkin 10 ribu langkah), itulah yang membuat perbedaan. Dan Mama tidak pernah merokok di dekat anak-anak, sangat disiplin. Itulah pula yang kemudian aku ikuti, walaupun aku perokok, tetapi memberikan suasana rumah yang ‘sesehat mungkin’ bagi anak-anak tetap aku jalankan.

Aku sempat ‘berhenti merokok’ 3x, di tahun 1996-1997 saat kehamilan anak-1, di tahun 2000-2001 saat kehamilan anak-2 dan di tahun 2006-2008 saat berusaha berhenti merokok dan gagal. Kecintaan-ku terhadap janin dan bayi yang tumbuh di dalam rahimku, mengalahkan sakau-ku akan kebutuhan nikotin yang sudah bertahun-tahun kucandui. Namun, saat aku sudah selesai menyusui (sekitar 6 bulan- 1 tahun), aku kembali lagi memberikan asap racun itu ke tubuhku.

Sampai bulan Juli 2019, aku mengalami batuk-batuk yang tidak terlalu berat, namun tidak kunjung sembuh. Aku ingat, selama hampir 1 bulan aku terbatuk-batuk. Sudah ke dokter spesialis paru dan diberikan obat, namun hanya berkurang sedikit, dan tidak kunjung membaik. Sampai aku mengunjungi ke dokter paru ke-3 kalinya,

“Bu, kita perlu observasi lebih lanjut mengenai batuk ibu, ini bronchi nya sudah radang, kemungkinan ada radang di parunya juga, kita rawat saja ya?” dokter paru memberikan saran

“Begitu ya dokter? Harus dirawat?” tanyaku setengah tidak percaya karena kan hanya batuk.

Singkat cerita, aku akhirnya bersedia dirawat di RS Mayapada Lebak Bulus. Dan menghabiskan 1 minggu dirawat di RS. Itu awal Agustus 2019. Repotnya dirawat di RS, adalah aku tidak bisa merokok, aku menghabiskan waktu di RS sambil menantikan kapan akan keluar. Akhirnya aku dirilis keluar dan dilanjutkan rawat jalan.

Belum 1 minggu setelah keluar dari rumah sakit, aku mulai batuk-batuk lagi, dan lebih parah rasanya. Karena merasa kecewa dengan dokter paru yang pertama, maka aku ganti dokter paru, dan mulai konsultasi dengan dokter paru yang lebih senior di rumah sakit yang sama.

Dan… aku diminta masuk lagi dirawat di RS. Dokternya melakukan banyak sekali test ini itu untuk mendiagnosa kenapa batuk-batuk ku tak kunjung sembuh dengan berbagai treatment. Sampai CT Scan paru, USG berapa dimensi untuk melihat dan memastikan masalahnya….  dan akhirnya ketemu! Ternyata, ada infeksi di paruku sebelah kiri, jauh dibagian bawah yang rupanya dulu pernah ada kerusakan dan membaik, sehingga membentuk parutan, dan tidak mudah terindentifikasi tanpa pemeriksaan yang lebih menyeluruh.

“Dokter, ini gara-gara saya perokok?” tanyaku dengan khawatir, sempat khawatir kena kanker paru.

“Bukan secara langsung, Bu, tetapi memang karena Ibu sudah menjadi perokok aktif lama, sehingga paru-parunya relatif lebih rentan dibanding bukan perokok. Jadi saat ada infeksi, lebih susah sembuhnya” dokter menjelaskan.

Akhirnya aku dirawat lebih dari 2 minggu, sehingga selama bulan Agustus 2019, aku dirawat secara total hampir 1 bulan. Sampai benar-benar sembuh.

Dan itulah, ‘wake up call’ ku. Alhamdulillah, saat ini berarti sudah 1 tahun 5 bulan aku berhenti merokok. 6 bulan pertama masih ada sakau-sakaunya kadangkala. Sampai 1 tahun, kalau melihat orang lain merokok begitu nikmat, masih ada pengennya. Tapi lama-lama sudah tidak lagi.

Saat ini, aku bersyukur, bahwa kejadian itu terjadi sebelum wabah covid. Aku berfikir, mungkin apabila kejadiannya saat pandemic, akan lebih berat akibatnya bagiku, dan bisa saja aku hari ini tinggal nama. 

Banyak sekali kenyamanan yang aku rasakan saat ini. Walaupun dulu perokok, aku tidak suka bau setelah merokok, sehingga biasanya aku akan sering berganti baju, cuci tangan dan menggunakan minyak wangi. Kalau jalan-jalan ke mall, aku tidak lagi harus sibuk cari smoking area, tidak lagi merasakan tenggorokan berat/batuk-batuk saat bangun tidur, menarik nafas rasanya pun lebih lega dan nyaman. Dan semoga, paru-paru-ku yang sudah bekerja keras menemaniku selama 50 tahun ini, sedikit lebih sehat, tidak lagi kubombardir dengan asap beracun, 1 bungkus setiap hari.   

Nanti, di kemudian hari, semoga aku bisa tetap istiqomah menjadi mantan perokok. Dan terpenting kelak, bila aku sudah diberikan cucu, aku bisa mencium cucu-cucuku nanti kapan saja, dimana saja, tanpa harus cuci tangan dan berganti baju, seperti yang dulu aku harus lakukan saat anak-anak masih balita.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng