30 Tahun Putih Abu-Abu - Sharing menjadi Ibu Anak Pecinta Alam

Tahun ini 2019, 30 tahun lalu, di tahun 1989, aku lulus SMA 6 Mahakam Jakarta. Di Blok M tepatnya.

Menjadi siswa SMA selalu seru, masa-masa masih belum memikirkan banyak tanggung jawab, tapi sudah berasa dewasa, sudah mulai suka-sukaan sama lawan jenis, masa-masanya dipanggil Guru BP karena roknya kesempitan (maaf kurang bahan, Bu....), punya "buntut" menyembul dari balik seragam, disuruh lari keliling lapangan karena terlambat, "cabut" alias bolos, dan menyemangati teman-teman cowok yang tawuran sama SMA tetangga :-).

Bila sedang berkumpul dengan teman-teman SMA, saat ini, rasanya menyenangkan mengenang masa-masa keseruan itu, rasanya baru kemarin kita lulus SMA, padahal sudah 30 tahun ya?

Banyak hal yang tidak terlupakan di masa-masa itu, apalagi aku termasuk "anak agak bandel". Aku memilih jurusan A3 (Sosial) saat kelas 2, dan aku tidak bisa melupakan Pak Santoso, guru Matematika-ku memanggil ke kelas dan "memarahi"ku atas pemilihan jurusan itu. "Kamu harusnya masuk A1, Yudi! bla-bla-bla". Namun hatiku sudah bulat, ketidak-sukaanku pada pelajaran Kimia (dan Gurunya sih), membuat aku tidak ingin bertemu pelajaran itu di kelas selanjutnya.

Hanya ada 3 kelas A3 saat itu, dan aku tidak pernah menyesal memilihnya, terutama karena teman-teman sekelasnya seru-seru!! (baca: bandel-bandel...hahaha).

Penyesalanku terbesar apa yang tidak aku lakukan saat SMA dan kuliah adalah aku tidak menjadi anak pecinta alam! Padahal di SMA dulu ada Trupala dan di kuliah ada Mapala UI. Dan aku selalu deket sama anak-anak pecinta alam, karena aku suka bagaimana mereka apa adanya dan setia kawan.

Karakter dasarku yang advonturir, suka bertualang, suka mencoba hal-hal yang menantang menjadi kurang tersalurkan :-)

Eh, ternyata, karakter itu menurun ke anakku, Aisyah, yang saat SMA menjadi aktifis di Sisgahana SMA 70 dan saat kuliah menjadi anggota Wanadri, sekarang sudah menyelesaikan kuliahnya di FH Unpad dan sudah menikah dengan juga anak pecinta alam (Genspal 86 dan Wanadri).

Nah... jadi cerita ini dilanjutkan dengan sharing bagaimana pengalaman menjadi Ibu dari anak (dan menantu) pecinta alam.

Mungkin lebih tepat bila judulnya "Menjadi Ibu dari Anak Alam", karena anakku bukan hanya anak gunung, tetapi juga anak pantai, anak sungai, anak laut, anak tebing, anak savana, anak hutan. Kecintaannya terhadap alam dan berada di alam bebas, menjadikan alam sebagai rumah ke-2 nya, tempatnya pulang.

Adalah Pramuka, Sisgahana (Pecinta Alam SMA 70) dan Wanadri (Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung, berskala nasional dan berdiri tahun 1964) yang menempa anakku Aisyah, menjadi Aisyah sekarang. Aisyah saat ini baru saja menyelesaikan 3.5th pendidikannya di FH (Fakultas Hukum) Unpad (Universitas Padjadjaran) Bandung, jurusan Hukum Internasional, dan sedang menyelesaikan skripsinya.

Mendaki gunung, adalah salah satu kegiatan favoritnya, selain menikmati keindahan alamnya, gunung dirasakan sebagai rumah ke-2nya, dimana dirinya merasa aman, terlindungi, bebas, lepas menjadi diri sendiri, tidak ada yang menghakimi, sunyi tanpa hiruk pikuk duniawi, tenang dan menjernihkan pikiran.  Kadang, bila 1 bulan saja Aisyah tidak "escape" ke gunung, atau alam (bisa saja cuma di kaki gunung atau ke pantai), sudah dilanda kerinduan, seperti rindunya pulang ke rumah.

Aisyah tumbuh menjadi wanita yang kuat, mengerti apa yang dia inginkan dan berani berjuang untuk memperolehnya, tentu saja cantik, mandiri, menghormati orang tuanya dan orang-orang yang perlu dia hormati, tidak (begitu) perduli dengan omongan orang lain yang menurutnya tidak penting, memiliki tidak sampai 10 orang sahabat dekat yang dianggap seperti saudara, dan cukup. Mengerti prioritas hidupnya dan mampu mencintai seseorang yang menurutnya bisa menjadi pasangan hidup untuk menjalani "kerasnya" kehidupan ini. Tentunya juga mencintai Tuhannya, yang menjadi tempat berserah diri dari segala kemelut duniawi.

Sepertinya keren ya? Anak yang diharapkan setiap orang tua.

Mudahkah menjadi Ibu seorang Aisyah, seorang anak pecinta alam? Jawabannya: tidak mudah!

Menjadi ibu dari seorang bayi, dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan cukup untuk membuat sang bayi sehat dan memperoleh gizi yang cukup.  Menjadi ibu dari seorang balita, dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan yang cukup untuk menstimulasi motorik halus dan kasarnya. Menjadi ibu dari seorang anak (TK-SD), dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan yang cukup untuk mulai membangun nilai nilai (kejujuran, disiplin, kritis, kreatif, dan hormat).  Menjadi ibu dari anak remaja (SMP-SMA), dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan yang cukup untuk mengendalikan luapan emosi mereka yang menggebu-gebu dalam mencari jati diri mereka, menjadi pagar yang memagari perilaku mereka, namun tidak terlalu sempit hingga membuat mereka ingin melompat dan berontak, mulai mengerti nilai-nilai yang lebih kompleks seperti integritas, leadership, empati dan simpati, membuat goal, konsekuensi, mengambil tanggung jawab, dan paling penting banyak mendengar dan mengerti mereka.

Dan terakhir, menjadi ibu dari seorang anak yang sudah mulai dewasa, ini menjadi tantangan tersendiri ternyata. Setelah kita sebagai orang tua mendidik, memberikan yang terbaik, mendengarkan, mengarahkan, memberikan fasilitas, dan segalanya yang bisa kita berikan, kemudian mereka tumbuh dewasa dan memiliki pemikiran sendiri, memiliki prinsip sendiri dan memiliki pilihan sendiri.

Aisyah di masa SMA nya menghabiskan hampir seluruh waktunya di markas pecinta alamnya, dan sibuk mulai dari pendidikan hingga menjadi wakil ketua dan menggagas banyak kegiatan. Tidur di sekolah (baca:markas), sudah biasa, bukan hanya menginap di markas, namun juga tidur di kelas saat pelajaran berlangsung.....

Dipanggil guru BP karena rambutnya dibotak setengah, dan pakai celana panjang abu-abu ke sekolah, atau ditegur saat mengambil raport karena sering tidur di kelas, adalah hal-hal yang harus aku hadapi sebagai Ibu.

Atau, berhari-hari naik turun gunung, pulang badannya luka-luka (saat pendidikan), dan terakhir pendidikan dasar wanadri selama 1 bulan. Dan saat kuliah, pernah tidak lulus 1 mata kuliah karena salah satu kegiatan lanjutan wanadrinya, survival di gunung hutan, yang seharusnya 3 hari, molor menjadi 5 hari dan jadi absen satu mata kuliah yang sudah limit untuk absen.

Marahkah aku? Tidak! Khawatirkah aku? Sangat dan sering!
Aisyah tau aku akan marah bila dia mengabaikan tanggung jawabnya, apabila tidak jujur padaku dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan masa depannya. Aku tidak akan marah karena anaknya ingin berkreasi mencari jati dirinya, ingin melakukan hal-hal yang disukainya dan positif, dan terbukti bahwa kegiatan ke-pecinta alam-nya dan alam adalah partner pendidikan anak yang ok.

Bahkan, dia menemukan jodohnya di kegiatan pecinta alam, menikah dan berbahagia melakukan kegiatan-kegiatan outdoor bersama, terakhir bulan madu kemarin di Raja Ampat, back-packer-an berdua demi diving berdua suami melihat hiu, manta dan biota laut yang luar biasa indah, dengan biaya yang sangat murah....

Nah, sang menantu, yang juga anak pecinta alam, sekarang menjadi polisi militer (Gegana), yang dengan kesukaannya akan alam, menjadikan dia bukan hanya anggota polisi, namun juga menjadi instruktur Polda Metro Jaya untuk diving dan penerjun, disamping juga yang membuat papan panjat di Mako Gegana dan menjadi instruktur panjat dan rapeling.

Begitulah, menjadi Ibu memang pekerjaan yang terus-menerus menerus membutuhkan hati yang besar untuk terus belajar, karena anak-anak kita terus bertumbuh.

Dan kini, saatnya aku sedang belajar chapter baru menjadi Ibu dan Mertua, menjadi Ibu anak gadis tercinta yang sudah menikah, belajar bagaimana melihat hasil kerja keras selama ini mempersiapkan sang anak gadis menjadi istri, dan menjadi ibu kelak, belajar tetap mendukung di belakang, tanpa melanggar hak privacy mereka sebagai suami-istri, sebagai institusi legal yang sudah terpisah dari kita.

Walaupun aku bukan anak pecinta alam, namun petualanganku selalu tetap menantang di setiap fase kehidupanku....


Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng