Bekal Untuk Calon Pengantin #2: Berani Putus

Baru sehari posting serial Bekal Untuk Calon Pengantin #1, Alhamdulillah sudah dibaca hampir 200 orang, jadi semangat nih untuk nulis serial berikutnya, Berani Putus.

Eh, gimana sih Ibu/tante Yudi nih, lagi bikin serial nasehat buat calon pengantin kok malah bahas soal putus? Yuk...kita simak.

Berani Putus adalah salah satu keberanian yang banyak pasangan "takut" untuk lakukan karena alasan-alasan yang dianggap kuat.  Alasan "kuat" itu maksudnya seperti contohnya, masih sayang, udah kenal orang tua, temen-temen udah pada tau, apalagi udah persiapan pernikahan, sehingga lebih banyak pressure.

Begini, saat kalian memulai suatu hubungan, komitmen, sesederhana apapun, nembak dan diterima istilah anak muda sekarang, baiknya niatnya kudu baik.  Yaitu dimaksudkan untuk kebaikan. Kebaikan bagi kedua calon pasangan.  Maksudnya gimana? Ya artinya, saat kalian mau menjalin hubungan dengan seseorang, hubungan itu mesti membuat kalian menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bahagia, lebih fun, lebih semangat, dan lebih bersinar.

Hubungan yang membuat kalian lebih kuper karena dibatasi pergaulannya oleh pacar, main sama si anu gaboleh, nongkrong di sekolah gaboleh, semua-semua gaboleh.  Atau sejak pacaran sama si dia, kalian menjadi lebih gak pede, karena sang pacar sukanya merendahkan dan tidak menghargai.  Atau kalian menjadi lebih pemurung, dan menjauhi teman teman dan keluarga, karena si dia ngomel melulu. Atau sejak pacaran sama si dia, nilai kalian di sekolah atau kampus jadi lebih jelek, karena si dia ga tau diri nelponin sepanjang malam dan ga sempet belajar, atau ga mendukung kegiatan-kegiatan sekolah/kampus.  Nah, model hubungan seperti itu, bukan hubungan yang pantas dipertahankan.

Mengapa? Karena kalau ada jodohnya, calon pasangan akan berlanjut menjadi calon pasangan hidup, dan bayangkan bahwa kualitas hidup kalian bukannya meningkat karena menjalin hubungan dengan si dia, malah justru menurun, lebih kuper, tidak bergaul, tidak lebih pintar, tidak lebih bijak, tidak lebh happy, tidak lebih semangat, yang ada murung dan banyakan nangisnya.

Di saat itulah kalian harus Berani mengatakan Putus!

Calon pasangan seperti itu kita sebut pacar (atau suami/istri) toxic. Seperti racun, menjalin hubungan dengan orang toxic seperti itu, hidup kalian malah makin ga karu-karuan, ga jelas dan ga lebih baik. Hati-hati lho, kadang orang seperti itu balutannya "romantis" dan "baik", padahal semu, karena sikap itu hanya di awal-awal berpacaran atau saat pedekate saja, manis di bibir tapi entah apa di hatinya. Mungkin memang benar mereka "menyayangi" kalian, tapi bentuk cinta-nya tidak sehat, possesive dan ego-centris.  Semua tujuannya hanya untuk kepentingan pemenuhan ego-nya, bukan untuk memberikan nilai pada hubungan.  Kadang kalian akan dibanjiri banyak hadiah, saat kalian sudah merasa terbuai dengan hadiah hadiah yang banyak dan perhatian yang banyak, eh kok lama-lama jadi possesive ya? Eh kok, lama lama jadi banyak larangan ya? Eh kok, lama lama kalo salah dikit, marahnya lebay banget ya....

Dan lalu kemudian, di hati kecil kalian, kalian merasa tidak bahagia, dan lalu bertanya-tanya, ini bener ga sih si dia beneran sayang?  Jangan abaikan hati kecil kalian.  Sesayang apapun kalian atau sesayang apapun si dia mengatakan pada kalian, bila akal sehat sudah memberi signal bahwa si dia kok tidak membuat kalian lebih baik dalam segala hal, tidak membuat kalian menjadi lebih banyak tertawa ketimbang menangis, itu tanda bahwa hubungan kalian sudah tidak sehat.

Dan saat itulah kalian mesti berani putus.

Pernah satu masa, seorang gadis kecil berumur 12-13 tahun, baru saja menginjakkan kaki ke SMP, yang sedang mencari jati-diri, menyaksikan temen-temennya beberapa sudah punya "pacar", kepingin juga dong di-tembak cowok, kepingin juga "pasang status" in relationship biar keren.  Dan lalu kemudian ditembak temannya kakak pembina Pramukanya yang sudah SMA.  Gak kenal, ga tau baik atau tidak, ga tau niatnya apa, diterima aja. Dan ceritanya mereka menjalin hubungan, hm....seperti cinta monyet mungkin ya?

Masalahnya, "monyet"nya sudah besar, sudah SMA, sudah lebih dari 17th, dan...ternyata agak-agak menyebalkan, karena mulai kiss-kiss, dll, dengan cara yang tidak menyenangkan, cenderung memaksa dan gadis kecil itu merasa tidak nyaman.  Antara "khawatir dianggap anak kecil", dan rasa kesal dan tidak nyaman, gadis kecil itu menjalani saja "hubungan" tidak sehat itu dan tidak berani memutuskan.

Gadis kecil itu mulai jadi pemurung, tidak seceria biasanya, setiap malam suka menangis sendirian, dan hampir setiap malam, di jam-jam yang tidak pantas (jam 12 malam, jam 2 dini hari) selalu harus menerima telpon cowok itu. Kalau tidak diangkat, atau lama membalas sms, cowoknya marah-marah, membuat gadis itu ketakutan.  Belum lagi gadis kecil itu dilarang main dengan teman-temannya yang memang kebanyakan cowok, membuat jadi kuper.

Akhirnya, setelah berlangsung beberapa bulan, gadis kecil itu baru berani menceritakan masalahnya ke Ibundanya.  Ibundanya kesel sekali, dan menyuruh putus.  Gadis kecil itu mengatakan putus sama cowoknya, tapi cowoknya ga terima, dan ga boleh putus. Gadis kecil itu ketakutan dan ga jadi putus, dan tetap menjalani hubungan yang mengerikan itu selama beberapa bulan berikutnya.  Cowoknya tampak di luar seperti sayang sama gadis kecil itu, membelikan hadiah, mengajak jalan-jalan, tapi itu hanya tampak di luar saja, di dalamnya gadis kecil itu merasa takut dan tidak nyaman, dan sering menangis sendiri di malam hari.

Akhirnya, Ibundanya tidak tahan melihat gadis kecilnya diperlakukan seperti itu oleh cowoknya, dipanggillah cowoknya dan Ibundanya turun tangan untuk memutuskan hubungan itu.  Gadis kecil itu hanya duduk tertunduk takut di pojok kursi tamu, saat Ibundanya mengatakan itu kepada cowoknya. Tidak selesai sampai di situ, ke-esokan harinya sang cowok menunggu di depan sekolah dan menjemput gadis kecil itu, memohon untuk jadian lagi.  Sang gadis tidak mau dan melaporkan ke Ayahandanya, sehingga beberapa hari harus dijemput ke sekolah agar tidak diganggu.  Kadang sang cowok hanya datang di depan rumah, menunggu sang gadis kecil keluar.

Singkat cerita, sang Ayahanda akhirnya bicara agak keras dengan cowok itu untuk jangan mengganggu lagi, dan akhirnya dia menyerah.

Nah itu......contoh calon pasangan toxic, possesive dan memaksa.

Kadang kalian walaupun punya calon pasangan toxic, selalu ada pembenaran, duh, kan masih sayang.... pake banget lagi, ya sudahlah, semoga dia berubah kelak.  Eits, jangan abaikan akal sehat dan hati kecil. Hubungan yang baik dan sehat, bahkan bukan hanya perasaan yang berbunga-bunga, namun akal sehat juga menerima kebahagiaan dan hati kecil berdebar-debar selalu setiap bertemu dengannya.

Apabila kalian sudah menjadi pribadi baik yang baik buat si dia, namun sebaliknya si dia membuat kalian menjadi pribadi yang tidak lebih baik, justru lebih jelek, mundur dulu.  Kalo belum yakin mau putus atau tidak, break (pisah) aja dulu selama beberapa saat (misalnya 1 bulan tanpa komunikasi atau dengan komunikasi minimal) untuk masing-masing mengevaluasi diri dan mengevaluasi hubungan.  Kalian punya HAK untuk menentukan apakah kalian mau melanjutkan hubungan atau tidak dengan seseorang.

Nah....setelah itu, rasakan apakah kalian lebih baik dan lebih bahagia "tanpa" dirinya atau tidak? Barulah ambil keputusan untuk lanjut atau putus.

Diinget-inget buat kalian para gadis ya? Jangan sampai sudah di-DP-in dulu, karena itu akan menjadikan kalian murah dan tidak punya bargaining power, selain dosa tentunya.  Ga perlu pake DP-DP, kontan aja nanti pas ijab-kabul, jadi selama belum diucapkan ijab-kabul, kalian tetap punya harga (diri), dan punya kekuatan untuk menentukan, apakah kalian mau lanjut atau tidak atas suatu hubungan.

Yuk.....berani menjalin hubungan baik, berani berkomitmen baik, dan berani putus apabila calon pasangannya tidak baik buat kalian.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng