Other broken heart

Lebih dari seminggu yang lalu, aku baru mengetahui bahwa anakku sedang patah hati, dari tulisan di blog nya. Dan ternyata sudah lebih dari sebulan dia mengalaminya.

Bukan hanya patah hati karena sang pacar bertukar pesan dengan wanita lain, tapi patah hati karena dengan berat hati harus memutuskan untuk membatalkan pernikahan yang sudah tinggal hitungan bulan.

Setelah hampir 5 tahun menjalin hubungan dengan seorang pria, dan hampir 2 tahun dilamar dan bertunangan, 5 bulan menjelang pernikahan, dimana sudah lebih dari 80% persiapan pernikahan diselesaikan, Wedding Organizer sudah dilunasi, termasuk gedung, pakaian pengantin, kebaya among dan sebagainya, keluarga besar sudah dikabari, bahkan rumah-pun sudah dipersiapkan, harus dibatalkan.

Aku tidak bisa membayangkan sakitnya, dan terutama penyebabnya adalah karena wanita lain, yang pada akhirnya pun tidak dipilih oleh calonnya anakku.

Anakku memaafkan sang pria, namun pernikahan tetap dibatalkan. Ada konsekuensi yang harus dijalani oleh sang pria, yang sudah melakukan tindakan tidak pantas, saat anakku sibuk mempersiapkan pernikahan.  Aku bangga, karena anakku mengambil keputusan terbaik dari "musibah" itu, membatalkan pernikahan, kembali berfokus kepada dirinya sendiri untuk tampil lebih baik, menyibukkan diri dengan kesibukan kuliah dan menyusun skripsi, berolah raga, dan deal dengan rasa sakit hatinya dengan sangat luar biasa. She is remakably amazing in dealing with her deep broken heart.

Tentunya akupun sempat merasa shock, marah, kecewa, sedih, mencari informasi ke-sana kemari agar aku mendapatkan masukan yang cukup atas kejadian yang cukup mengejutkan ini. Dan cukuplah aku mendapatkan informasi dan konfirmasi dari yang sang pria bersangkutan dan melalui orang lain yang mengetahui ceritanya.

Mengapa kemudian di saat semua sudah berjalan dengan "baik" dalam keadaan seperti ini, dengan sangat sedikit damage yang terjadi (kecuali hati anakku tentunya), dan sang pria luar biasa menyesali kelalaiannya, aku masih merasa "tidak tenang"?

Bukan karena kejadiannya, karena dengan umur dan jam terbangku, aku pernah mengalami masa-masa yang lebih sulit. Tetapi ternyata karena ada kesedihan lain yang kurasakan, yaitu anakku sudah "tidak lagi" menangis padaku. Aku sudah bukan yang dia kabari pertama kali saat dia merasa sedih dan butuh bantuan. Bahuku sudah tidak "laku" lagi. Bahkan saat dia berada di rumah sakit, hal pertama yang dipikirkannya adalah "jangan bilang Ibu".

Ternyata hal itu terasa agak menyakitkan.

Namun, ya sudahlah. Kucoba tetap berlaku biasa. Yang penting kan bukan perasaanku, ada yang lebih penting, dan selalu yang lebih penting adalah anak-anakku.

Entah bagaimana caranya, mungkin aku akan bisa menerima hal ini suatu saat nanti.
Patah hati karena putus dari pacar, akan sembuh dengan pacar baru, namun patah hati dengan anak kita yang sudah tidak lagi merasa nyaman membuka diri dan perasaannya padaku, entah bagaimana sembuhnya.

I know I will be fine.

Mungkin memang ini bagian dari proses menjadi orang tua dengan anak yang sudah dewasa.

Inilah buah-ku dari 21 tahun memupuk dan menjaga dan menyirami.

Menjadi orang tua yang berbangga dan berbahagia, bukan hanya karena anak-anak on track dalam sekolah formalnya, tetapi juga pada saat mereka sudah bisa mengambil keputusan penting yang sesuai dengan nilai nilai yang kita ajarkan, dalam hidupnya, dalam kesulitan yang dialaminya, sendiri.

Alhamdulillah.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng