Oshin, si Jepun KW

 “Loe tuh Jepun KW!” Windi, sahabat SMA ku pertama kali melabeli-ku

 

Sejak saat itu,  temen temen SMA memanggilku dengan nama Jepun. Terutama teman yang dekat dengan ku. Sampai kini, 35 tahun kemudian.

 

Windi adalah salah satu sahabat ku yang unik. Anaknya tomboi, jagoan karate. Nyalinya gede. Suaranya lantang.

 

“Kenapa gue jepun KW, Win?” tanyaku penasaran

“Gue ga yakin loe beneran orang jepun, Yud” jawab Windi bikin penasaran

“Maksud loe?” tanyaku pingin tau

“Liat nih, kulit loe mirip sama kulit gue yang orang Jawa! Item!” sahut Windi sambil menunjukkan lengannya, dan tertawa.

 

Masa SMA, masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah, begitu kata semut-semut merah yang berbaris di dinding sekolah.

 

Malu aku malu
Pada semut merah
Yang berbaris di dinding

Sebait lagu yang fenomenal di zaman itu, lagu Kisah Kasih di Sekolah-nya Obbie Messakh. Shooting-nya dilakukan di SMA tempatku bersekolah.

 

SMA ku berada di Blok M, tempat ‘bergengsi’ di masa itu. Pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Juga pusat nongkrong anak-anak muda. Salah satu tempat favorit kami adalah Radio Suara. Lokasinya tidak terlalu jauh dari sekolahku.

 

“Hei cantik, iya kamu yang rambutnya ikal itu” Dito, salah satu penyiar dan pelawak di Radio Suara menunjukku.

 

“Nanti selesai siaran, jangan pulang dulu ya” lanjutnya dengan suara yang menggoda.

 

Aku tersipu. Sedikit penasaran, sedikit deg-degan.

Selesai siaran, aku dihampirinya.

 

“Nama kamu siapa?” tanya Dito dengan suara berat dan pelan, namun seperti menghujam dadaku, membuat aku salah tingkah.

 

“Hm… aku…” belum selesai kalimat-ku, Dito melanjutkan

“Ga usah dijawab! Aku panggil kamu Oshin ya? Kamu cantik seperti orang jepang” begitu kata Dito menyerocos sendiri.

 

Aku makin tersipu, pipiku memerah. Mukaku memang mudah menjadi merah.

“Ah… ini gara-gara separuh darah jepang mengalir di tubuhku” umpatku dalam hati.

 

Aku dan teman-teman sedang main ke Radio Suara, untuk nonton siaran live grup lawak yang sedang naik daun saat itu. Itulah awal perkenalanku dengan Dito. Sejak saat itu, aku dipanggil ‘Oshin’ oleh Dito.

 

“Lagu ini buat si cantik Oshin, yang sedang bersiap-siap berangkat sekolah” sapa Dito melalui udara.

 

Setiap Dito siaran pagi, namaku tidak pernah luput disebutkannya. Kudengarkan sambil senyum-senyum sendiri. Ada rasa kangen yang mulai menjalari hatiku, apabila sehari saja tak kudengar suaranya. Apakah aku mabuk kepayang?

 

“Jepun! Akhir-akhir ini loe jarang ikutan nongkrong deh!“ Windi membuka pembicaraan di waktu menjelang waktu istirahat, Ms. Bambang, guru Bahasa Perancis yang cantik, elegan dan wangi, baru saja meninggalkan kelas.

 

“Loe juga jadi suka cabut deh”

“Ya gue tau loe pinter, ga bakal ketinggalan pelajaran, tapi ga gitu juga kali!” Windi mengeluh.

 

Aku tak menjawab. Memang apa yang dikatakan sahabatku benar adanya. Tapi urusan pribadiku ya urusanku, begitu kataku dalam hati.

 

“Ih, biarin aja sih!“ jawabku dengan nada mulai tinggi. Kadang kalau kita salah dan disalahkan, kok rasanya pengen emosi. Darah mudaku bergolak.

 

“Urusan gue mau ngapain kek, pacaran kek, jungkir balik kek!“ kataku makin singit.

 

“Eh Jepun! Inget loe, Dito udah tuwir! Kalo dia udah punya bini, mampus loe!” Teriak Windi tidak kalah galak.

 

“Gue pindah duduk! Reseh loe!“ Kutinggalkan Windi yang terkaget dengan reaksiku yang tiba-tiba emosi.

 

Aku menengok Windi dengan mata menyipit, kesal dan kaget. Ku buang muka, dan terus berjalan ke luar kelas. Menuju WC wanita, tempatku melakukan ‘ritual 4 menit’.

 

“Eh, apa iya Dito sudah ber-istri ya?” batinku mempertanyakan.

 

Terbayang wajah Dito, memang orangnya tidak ganteng, tapi sangat memanjakan aku. Beberapa kali Dito mengantar aku pulang dengan minibus biru lawasnya. Dia ingin meyakinkan aku aman sampai di rumah. Bikin aku merasa ‚dijagain‘.

 

Buat aku yang dibesarkan oleh single parent, tanpa sosok ayah, memiliki seseorang yang mengagumi dan memanjakanku seperti candu rasanya. Membuat-ku melayang bagai ke langit ke tujuh, saat dipuji-puji dan dibelai manja.

 

Aku tak punya siapa-siapa tempat curhat di rumah.

 

Adikku, cowok, juga sibuk dengan urusannya sendiri. Karena kita hanya beda 1 tahun, rasanya seperti kembaran aja. Adikku adalah sparing partner berantem-ku. Seperti umumnya adik-kakak.

 

Kuselesaikan ‘ritual 4 menit-ku’, dan kembali ke kelas, masih kesal sama Windi.

 

Beberapa bulan berjalan. Aku sibuk berpacaran, terbuai, dan melupakan Windi.

 

Di satu kesempatan, setelah siaran langsung, Dito mengajakku ke lantai 4. Ada ruang studio yang hanya digunakan pada acara tertentu. Lebih sering kosongnya.

 

Beberapa saat berlalu.

 

Plaak…

Kutampar wajah Dito, sampai tanganku bergetar. Bergegas aku membereskan kancing baju sekolahku. Lidahku terasa kelu. Aku berdiri, ingin segera meninggalkan ruangan studio kosong itu.

 

Dito menahan tanganku. Aku menoleh kesal. Mata kami bertatapan, sekelebat kulihat ada penyesalan di sana.

 

Kukumpulkan keberanianku. Akhirnya ada yang bisa keluar dari mulutku.

 

“Jadi, selama ini kamu ngebaikin aku, sayang-sayang, malah sudah ketemu Mama, kamu rencananya mau minta ini!” kataku setengah membentak.

 

Mukaku memerah. Aku marah.

“Ternyata…. kamu….” Aku tak sanggup meneruskan kalimatku.

 

“Mengapa aku tidak melihat maksud tersembunyi dari Dito?”

“Aku terlalu terbuai” aku membatin

 

Dito memandangku.

 

“Maaf…. Maaf sayang, aku pikir…, aku pikir kamu oke-oke aja dengan kebebasan begini” sahut Dito sambil memegang pipinya, kaget dengan reaksiku yang di luar dugaannya.

 

“Enak aja! Kamu pikir aku cewek murahan!”

“Mentang-mentang aku turunan Jepang, bebas aja gitu?!“

 

Dito tertegun. Aku mulai merasakan hangat di pelupuk mataku. Segera kutinggalkan Dito sebelum dia melihatku menangis.

 

Kurapikan rambutku seadanya, kuambil tasku, dan berlari keluar menuruni tangga. Aku tidak memperdulikan sapaan penyiar-penyiar lain yang memang sudah banyak yang aku kenal. Aku hanya ingin segera meninggalkan tempat itu.

 

Sudah 3 hari aku tidak masuk sekolah. Aku sedang tidak ingin sekolah. Aku hanya ingin menangis sendirian di kamarku.

 

Tiba-tiba kudengar suara teriakan memanggil namaku. Rasa-rasanya aku kenal betul suara serak lantang itu.

 

“Jepun!! Loe di rumah?!“

“Jepuun….“ Teriak Windi.

 

Akhirnya aku keluar, dengan mata sembab, badan kumel dan rambut awut-awutan.

“Kenapa loe?” Tanya Windi lebih keras lagi

“Eh Win… yuk masuk, ntar gue ceritain” sahutku pelan sambil membukakan pagar.

 

Aku ajak Windi ke kamar, supaya lebih santai, memang sudah biasa juga aku menerima teman-teman dekatku ke kamar. Di rumah, siang, seperti biasa hanya ada bibi asisten rumah tangga.

 

“Loe bener Win…” kataku membuka pembicaraan

“Dia cuma mau begituan..” sambungku lirih, airmataku mengalir

“Terus? Loe kena?” Windi bertanya sambil mengguncang bahuku

 

Aku terdiam sebentar, teringat peristiwa memalukan itu.

“Hampir sih, tapi ga sampe“ aku menjawab.

“Hampir Win…. hampir…“ sambil pecah lagi tangisku, menyesali apa yang nyaris terjadi, dan tidak mendengarkan temanku.

 

Windi memelukku. Amarah-ku mencair. Dadaku menghangat. Bersyukur memiliki seorang sahabat baik yang tidak menyerah padaku.

 

“Loe sih ah, udah gue bilang!”

“Dito tuh udah mulai terkenal, mana jauh lagi umurnya dari loe”

“Yang pasti kan kenyataannya, dia nganggep loe gampangan, pengen gituan doang…, nih buktinya kan?”

 

“Ga bener berarti niatnya tuh”

“Jaman sekarang ya, harus ati-ati deh. Kita kan masih SMA nih”

“Kalo mau pacaran yang asyik-asyik aja“

 

“Terutama sama cowok yang jauh lebih tuwir, banyakan udang dibalik bakwan…. eh batunya!”

“Enakan kayak gue nih, ga punya pacar, ga ribet”

“Bebaaass kemana-mana, maen sama siapa aja”

“Ntar aja pacaran mah kalo udah mo nikah” Windi nyerocos kayak kaleng rombeng.

 

Aku hanya terisak, hatiku mengiyakan, Windi benar.

“Thanks Win…” kataku lirih.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng