March 19, 2013 - Prakata Ibunda (dalam Autobiografi Aisyah)


Sambutan, Ibu

Aisyah Jasmine Yogaswara

 
Aisyah adalah anak 1 dari 2 bersaudara, lahir tanggal 15 April 1997, di RS Jakarta Medical Center, Warung Buncit, Jakarta Selatan. 

 
Pada saat mengandung Aisyah, tidak ada kendala yang berarti, namun pada saat proses melahirkan, membutuhkan waktu cukup lama (27 jam sejak kontraksi pertama), karena badannya terlilit tali pusar. 

 
Tapi Alhamdulillah, walaupun prosesnya lama dan panjang, tetapi proses melahirkan berjalan normal dan Aisyah lahir dengan sehat dan selamat, diawali dengan tangisan kencang membahana, membawa kebahagiaan bagi aku dan suami, tepat saat azan subuh berkumandang.

 
Nama

 
Ayahnya Aisyah, Yogaswara, adalah asli orang sunda, tepatnya sukabumi, lahir dan besar di sukabumi, dan orang tuanya adalah orang sukabumi asli.  Sedangkan saya, ibunya Aisyah adalah anak campuran, ayah saya berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Ibu berasal dari Yokohama, Jepang, namun saya lahir dan besar di Jakarta. 

 
Memberikan nama anak adalah excitement tersendiri, dan nama “Aisyah” adalah ide sang ayahanda, yang menginginkan kelak anaknya memiliki akhlak dan semangat membangun agama seperti Siti Aisyah RA, Amin…..

 
Jasmine, nama tengah Aisyah, diambil dari bunga melati dalam bahasa Inggris.  Bunga melati adalah bunga favorit neneknya Aisyah (Obaasan dalam bahasa Jepang)  yang juga sangat dekat dengan Aisyah, dan tinggal dengan kami, sampai saat beliau meninggalkan kita pada tahun 2009.  Kedekatan Aisyah dan arti dari bunga melati yang putih, suci, ikhlas dan harum, membuat kami memberikan nama “Jasmine” sebagai nama tengah Aisyah.

 
Yogaswara adalah nama ayahnya Aisyah, yang kami masukkan sebagai nama belakang, karena memang menurut adat sunda, tidak ada nama marga yang digunakan dalam nama.

 
Jadilah lengkapnya: Aisyah Jasmine Yogaswara, ananda yang diharapkan memiliki akhlak, keberanian dan semangat seperti Siti Aisyah RA, ikhlas dan suci serta dapat mengharumkan nama keluarga dan agama, seperti bunga melati, anak dari Bapak Yogaswara.

 
Karakter dan kemampuan

 
Aisyah memiliki karakter yang keras, dalam artian segala keinginannya, dia akan berusaha meraihnya sekeras-kerasnya.  Tampak sejak masih bayi, apabila lapar/haus atau ada sesuatu yang kurang nyaman, tangisannya akan menggema ke seluruh penjuru rumah, memastikan sang ibunda segera datang memenuhi kebutuhannya.

 
Aisyah sudah bisa berjalan, walaupun masih agak tertatih pada bulan ke-10, belum genap 1 tahun umurnya, namun tekadnya untuk bisa berjalan tampak sangat kuat dan berhasil.  Saat batita, belum bersekolah, tetapi sudah kami masukkan ke pra TK dan kelompok bermain di sanggar Bobo, tampak dominasinya terhadap teman-teman terlihat jelas.  Karakter kepemimpinannya, keberaniannya dalam bertanya kepada guru/pembimbing, dan pengaruh terhadap teman-teman sudah tampak sejak pra TK hingga ke SMP.

 
Saat SD, tentu bukanlah hal yang mudah, karena dominasi dan kerasnya karakter dasarnya menjadikan Aisyah kadang berkonflik dengan teman-teman sebayanya, juga dengan guru-gurunya.  Namun dengan banyak buku-buku mengenai parenting dan karakter anak, serta seminar-seminar yang kita ikuti, kita bisa mengarahkan karakter dasar itu menjadi hal yang positif dan kekuatan buat sang anak.
 

Saat SMP, kemampuan pengenalan diri dan pengendalian karakter sudah mulai berkembang dalam diri Aisyah, sehingga Aisyah sudah mulai bisa mengendalikan emosi dan efek negative dari karakter dasarnya.  Aisyah tetap menjadi “pemimpin” dalam kelompoknya (di sekolah, dalam berorganisasi maupun di luar sekolah), walaupun seringkali dia menolak menjadi ketua, namun tetap keputusan dan pandangannya menjadi penting dalam kelompok tersebut.

 
Karakter lain yang juga tidak mudah diarahkan, adalah karakter persaingan yang sangat tinggi.  Kami mengajarkan agar anak-anak tidak hanya bersaing dengan teman-teman, namun yang jauh lebih penting adalah bersaing melawan kemampuan diri sendiri, dalam artian, terus berusaha melewati hasil sendiri yang telah pernah dicapai.
 

Salah satu perjuangan terbesar yang kami lihat dan banggakan adalah Aisyah tidak mau mengalah terhadap penyakit bawaannya, yaitu asma.

 
Dengan tetap berkonsultasi pada dokter dan dengan buku-buku referensi yang saya baca, Aisyah tumbuh memiliki fisik yang kuat (dibandingkan teman-teman sebayanya), walaupun Aisyah mengidap penyakit asma.

 
Segala jenis kegiatan outdoor sangat disukainya, jogging, berlari, berenang dan sebagainya.  Dalam seni bela diri karate, Aisyah sudah hampir mencapai sabuk hitam, tinggal mengambil ujian akhir.  Dan seperti cita-citanya sejak SMP, saat SMA, Aisyah dengan aktif mengikuti kegiatan pecinta alam yang membutuhkan kemampuan fisik yang luar biasa, dan berhasil menaklukkan penyakit asmanya.
 

Prestasi

 
Aisyah menjadi ketua kelas, sudah langganan, tentunya.  Menjadi juara 1 (pelajar teladan), sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMP, tidak pernah lepas dari tangannya.  Padahal saya adalah working mother (ibu bekerja), sehingga waktu saya terbatas dalam memberikan waktu dan didikan dalam masa tumbuh kembangnya.

 
Tetapi dengan sedikitnya waktu yang saya miliki, saya berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menjadi orang yang terdekat dalam kehidupan anak-anak saya, dengan menggunakan fasilitas-fasilitas (telpon, webcam, dsb), untuk tetap “hadir” tanpa kehadiran diri saya.

 
Kami sebagai orang tua tidak pernah focus, hanya pada hasilnya (menjadi juara kelas misalnya), namun yang terpenting adalah focus pada prosesnya, dan Alhamdulillah, Aisyah memiliki kemampuan untuk selalu menjadi yang terbaik dalam apapun yang dilakukannya.

 
Selain prestasi akademik di sekolah, Aisyah juga mengikuti perlombaan-perlombaan akademik mewakili sekolahnya dan menyumbangkan beberapa piala bagi sekolah.
 

Selain itu, dalam seni bela diri (Taekwondo dan Karate), Aisyah juga pernah beberapa kali memperoleh medali dan penghargaan, walaupun untuk tingkat SD.
 

Kemampuan-nya dalam menulis-pun, terus diasah dengan mengembangkan blog yang dimilikinya dan sempat memperoleh penghargaan di sekolah atas tulisan dan puisi yang pernah dibuatnya.

 
Citra Indah

 
Sekolah pertama Aisyah adalah TK Ananda di Citra Indah (pra TK) sebelum masuk ke TKI Cikal Harapan di komplek yang sama, Citra Indah juga.  Kami memilih perumahan Citra Indah, di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor, untuk membesarkan anak-anak kami, bukannya tanpa alasan. Memang bila dilihat dari jarak, lumayan jauh ke Jakarta, tempat saya dibesarkan dan tempat saya menimba ilmu sejak TK hingga menyelesaikan S1.

 
Dari beberapa pilihan tempat tinggal di pinggiran Jakarta, yaitu Bekasi, Tangerang, Cibubur/Bogor dan Depok, pilihan kami jatuh pada Komplek Citra Indah, di wilayah Jonggol, sekitar 30km dari pintu tol Cibubur.  Saat kami membeli rumah pertama kami pada tahun 1996, dan mulai ditempati pada September 1997, jalan dari keluar tol jagorawi menuju jonggol masih lenggang dan bisa dilalui dengan waktu kurang dari ½ jam saja.

 
Dekat dengan alam pedesaan, dan tidak ada area pabrikasi di sekitarnya, sehingga udara dan airnya masih sangat bersih dan alami, dan di dalam komplek dengan sarana dan prasarana penunjang yang baik, menjadi dasar pemilihan kami.  Bagi kami sebagai pengantin baru yang tentunya dengan budget terbatas, dan visi ke depan untuk membangun keluarga dan membesarkan anak-anak di tempat terbaik, Citra Indah menjadi pilihan terbaik kami saat itu.

 
Aisyah berumur 5 bulan, saat kami menempati rumah pertama kami sendiri, dan saat Aisyah berumur 7 tahun kami pindah ke rumah ke-2 kami, di komplek yang sama dengan ukuran yang lebih memadai, karena kami juga sudah memiliki adiknya Aisyah, Almas, yang lahir 4 1/2 tahun setelah Aisyah.

 
Baiknya udara dan air dalam pertumbuhan anak-anak kami, menjadi penting apalagi anak-anak kami mengidap penyakit asma, sehingga kekuatan mereka semakin baik dan semakin jarang kambuh, ditambah dengan latihan-latihan fisik yang teratur.

 
Aisyah melalui TK, SD dan SMP di Citra Indah, di Sekolah Islam Cikal Harapan 2, Citra Indah, Jonggol, dari Yayasan Permata Sari yang didirikan oleh Ibu Etty Mar’i Muhammad.  Sekolah Islam membuat dasar/fondasi yang kuat bagi pemahaman keagamaan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi alasan kami memasukkan anak-anak kami di sekolah swasta Islam.

 
Pemilihan SMA

 
Melanjutkan ke SMA Negri adalah pilihan Aisyah sendiri, karena ingin mendapatkan pengalaman yang berbeda dari bersekolah di swasta islam.  Namun sekolah negeri yang bagaimana dan dimana, adalah rekomendasi kami, sebagai orang tua.

 
Sebetulnya saat kelas 3 SMP, kami sudah menawarkan untuk pindah ke Jakarta, untuk memperbesar probabilita dapat masuk ke SMA negeri favorit di Jakarta, namun kecintaan Aisyah pada Cikal Harapan, dan keinginannya untuk lulus sebagai siswa Cikal Harapan, menjadikan factor tebesar keputusan kami untuk tetap lulus dari SMPI Cikal Harapan.
 

Pilihan utama Aisyah sebetulnya adalah SMAN 1 Bogor, karena bagi Aisyah, pindah ke Jakarta, terlalu besar culture shock-nya, di samping suasana metropolitan yang menurutnya terlalu hectic, juga suasana sekolah yang pastinya sangat berbeda.  Namun sayangnya saat test, nilainya kurang nol koma sekian, dan kami tidak bersedia untuk “menambah”nya dengan “hal lain”.
 

Sebagai back-up pun, kami sudah mendaftarkan Aisyah di SMA Lab School Kebayoran Baru dan mengikuti ujian saringan masuk.  Dari lebih dari 1200 pelamar, dan hanya diterima 150 siswa, Aisyah lolos test, namun tetap memutuskan untuk mengikuti test di SMA Negeri.

 
Untuk memperbesar peluang masuk diterima di SMA Negeri favorit di Jakarta, kami memilihkan beberapa SMA RSBI (karena ada ujian masuk, tidak hanya berdasarkan nilai NEM murni), dan melakukan survey.  Akhirnya pilihan jatuh pada SMAN 70 Jakarta, yang dengan beberapa pertimbangan, menjadi pilihan terbaik.

 
Alasan utamanya adalah karena SMAN 70 memiliki peluang undangan dari Universitas Negeri salah satu yang terbanyak dari SMA-SMA lain, dan tingkat pendaftar yang sedikit lebih sedikit dibandingkan SMAN favorit lain, karena SMAN 70 terkenal dengan bullying dan tawurannya.

 
Dari jatah kursi untuk pendaftar luar Jakarta hanya 5%, yaitu 16 bangku, Alhamdulillah, Aisyah masuk menjadi salah satu yang diterima.

 
Menjadi “Anak Jakarta”

 
Saya, ibunya, adalah lulusan SMAN 6 Jakarta, tahun 1989.  Aisyah menjadi anak SMAN 70 Jakarta, pada tahun 2012.  23 tahun terpaut, namun tetap SMAN 6 dan SMAN 70 adalah musuh bebuyutan yang sampai akhir tahun 2012 lalu (tragedi Alawy).

 
Tawuran dan bullying menjadi merk SMAN 70, disamping prestasi-prestasi lain yang sebetulnya sangat banyak, baik akademik maupun non akademik (eks-kul).  SMAN 70 tetap menjadi yang terdepan dalam banyak dan majunya eks-kul sekolah.
 

Dari anak daerah (Jonggol-Bogor), yang bersekolah di sekolah swasta Islam di dalam komplek perumahan, dimana kita mengenal para tetangga, dan teman sekolah adalah juga teman bermain di rumah.  Di mana para guru-guru dekat dengan anak-anak murid, ada murid yang bolos, langsung ketahuan, bahkan bisa dijemput di warnet dekat sekolah, dimana murid-murid berprestasi seperti Aisyah adalah kebanggaan sekolah, dan rumah guru-guru dan kepala sekolah adalah tempat anak-anak bermain.  Dimana kedekatan dengan teman-teman satu kelas demikian dekat dan kompak, bahkan dengan kakak-kakak dan adik-adik kelas, bahkan adik-adik SD, Aisyah menjadi siswa SMAN 70 Jakarta.
 

Dimana, muridnya sangat banyak (hampir 1000 siswa dari kelas X sampai XII), sehingga belum tentu saling mengenal satu sama lain.  Dimana guru-guru juga banyak dan belum tentu mengenal satu persatu murid-muridnya.  Dimana guru-guru kadang masuk, kadang tidak, kadang bisa dimengerti pelajarannya, kadang asal mengajar, bahkan tidak pernah masuk 1 semester sampai ulangan.
 

Dan terparah, adalah suasana “mencekam” murid-murid junior yang sengaja diciptakan oleh para senior, dengan bullying yang kejam, rejej, aturan-aturan tidak tertulis yang tidak masuk akal, dan kolekan yang menghabiskan dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah demi kepentingan para senior, untuk kepentingan yang tidak jelas.

 
Semua itu membuat Aisyah, walaupun sudah saya persiapkan mentalnya untuk menjadi anak SMA Negeri di Jakarta, tetap sangat shock. 3 bulan pertama sekolah, adalah nightmare bagi Aisyah, tiap hari pulang sekolah menangis dan meminta untuk pindah sekolah.  Saya bahkan sudah mensurvey beberapa SMAN lain untuk Aisyah pindah pada semester 2.
 

Untunglah, (berkah dari tragedy Alawy), walaupun sangat memprihatinkan, dan melukai banyak sekali orang dengan meninggalnya Alawy anak SMAN 6, akibat tawuran ditusuk anak SMAN 70, tawuran menahun antara SMAN 6 dan SMAN 70 menjadi hot topic bagi pemberitaan media.  Exposure yang luar biasa dari media, menyoroti masalah pelik mengenai tawuran pelajar, dan kemudian juga membongkar urusan bullying di sekolah, menjadikan SMAN 70 (para senior dan alumni) yang ingin melestarikan budaya bullying menjadi mati langkah.
 

Maka perlahan-lahan, walaupun tidak bisa dibasmi 100%, keberanian Aisyah (dan siswa junior lain) mulai bangkit.  Sudah bisa tidak menunduk-nunduk di depan senior, bisa melewati lorong-lorong dan tangga-tangga yang tadinya tidak bisa dilalui, bila terpaksa, sudah tidak perlu menggunakan sepatu px dan tas hitam, bisa jajan di kantin, walaupun belum sebebas para senior, tapi lumayanlah, daripada tidak sarapan atau makan siang, bisa sholat di mesjid sekolah, dan terutama, tidak ketar-ketir setiap pulang sekolah, takut “diculik” senior untuk di-rejej.
 

Eks-kul pecinta alamnya, Sisgahana, juga menjadi salah satu “penyelamat” Aisyah dan mampu mengurungkan niatnya untuk pindah sekolah.  Kecintaannya pada Sisgahana, kekeluargaan yang ditawarkan para senior Sisgahana, walaupun pendidikan dan pelatihannya sangat keras, namun “perlindungan” para senior menjadikan Aisyah bisa lumayan mendapatkan dukungan di sekolah.

 
Menjadi satu-satunya siswa daerah dari SMPI Cikal Harapan Bogor, tanpa teman, tanpa kenalan senior, dan “kerasnya” suasana SMA negeri di Jakarta, terutama yang terkenal paling sadis senioritas dan bullying-nya, suasana beradaptasi adalah hal terberat yang bisa dilalui Aisyah.

 
Kini, dengan slayer merah di lehernya, dan dukungan terutama dari wali kelas sebelumnya, Ibu Wahyuni, Aisyah sudah mulai agak nyaman menjadi “anak Jakarta”.  Dengan mengikuti pelatihan dan pendidikan kepemimpinan di Lido, juga di sekolah, dan kemarin mengikuti seleksi Paskibraka Jak-Sel, juga menjadi anggota karate SMAN 70 dan mengikuti pertandingan di Bulcup, perlahan-lahan Aisyah mulai bisa kembali “menjadi Aisyah yang percaya diri, berani, berjiwa pemimpin, banyak teman dan mulai mengukir prestasi”, setelah sempat down, menjadi pemurung, takut bersekolah dan boro-boro memikirkan prestasi, memikirkan keselamatan diri saja sudah berat.

 
Semoga Aisyah, di SMAN 70, bisa mengukir prestasi mengharumkan nama sekolah dan menikmati masa-masa paling indah dalam masa remaja, yaitu masa SMA dan melalui SMAN 70 dapat membantu cita-citanya untuk masuk (lebih baik lagi mendapatkan undangan) dari Universitas Negeri dan memperoleh beasiswa bersekolah di Jerman.

Amin.

Comments

  1. terima kasih sudah sharing. Anak saya perempuan tertarik utk daftar di SMA 70, tp dengar kasus2 bullying jadi ciut mentalnya. Apakah sekarang bullying msh terjadi utk anak2 baru? boleh tolong share tipsnya apa saja yg harus dilakukan. Apakah SMA 70 lebih bagus prestasinya dari SMA 6? Mohon sharingnya lebih lanjut. Thanks

    ReplyDelete
  2. Ibu Arini. Terima kasih atas komentarnya. Semoga belum terlambat ya. SMA 70 masih lumayan banyak yang diterima di universitas negri yg bagus, undangan dan test bisa mencapai 30%. SMA 6 lebih sedikit. Soal tawuran sudah nyaris tidak ada di SMA 70 tapi senioritas masih ada walaupun tidak sesadis dulu sebelum kasus Alawy. Namanya SMA Negri ya harap maklum ya dengan berbagai keterbatasan, namun bukan tempat yg terlalu jelek juga buat belajar kemandirian. Saya sih rencananya akan memasukkan adiknya di SMA 70 lagi. Prestasinya lumayan banyak juga. Semoga membantu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng