Asa Dalam Sampah

Sebau dan sekotor apa pun tempat sampah.

Selalu ada secercah asa yang melimpah.

 

“Jati, laporan keuangan bulan ini sudah selesai?” tanya Bu Sari.

Tiba-tiba Jati dikejutkan oleh suara tegas yang begitu dikenalnya.

 

“Hampir selesai Bu, semoga sore ini sudah bisa saya serahkan” jawab Jati dalam keterkejutannya.

“Baik, jangan meleset lagi ya Jati!” Bu Sari menegaskan.

“Saya harus melaporkan kepada Dewan Pengawas besok” lanjut Bu Sari, sambil meninggalkan Jati.

 

Jati memandang punggung Bu Sari keluar ruangan.

“Duh, kena omelan lagi…” Jati membatin, sambil mengambil napas panjang.

 

Ruangan co-working space di Detos (Depok Town Square), itu bernama Code Margonda. Ruangan besar yang disekat-sekat dengan kaca pembatas. Jati duduk di salah satu meja yang menghadap ke jalan Margonda Raya, di lantai dua.

 

Jati kemudian mengambil gelas kopi yang sudah setengah kosong, dan meneguknya, untuk menenangkan dirinya. Jati melayangkan pandangan ke luar jendela di depannya.

 

Pandangan Jati berhenti pada seorang pemulung di pinggir jalan. Pemulung itu berbaju lusuh dan kulitnya legam terpapar sinar matahari sepanjang hari. Dia sedang mengambil sampah plastik, menggunakan kaitan besi panjang,lalu melemparkan botol bekas minuman itu ke keranjang besar di punggungnya.  

 

“Dia seperti Bapak” batin Jati.

Pikiran Jati melayang ke 10 tahun lalu, Jati kecil adalah anak pemulung di TPA Bantar Gebang.

________________________

 

Bu…. aku pergi sekolah!” teriak Jati bersemangat.

 

Jati pamit dengan suara lantang penuh semangat. Teriakannya menggema di sepanjang lorong, hingga terdengar ke lorong telinga ibunya yang sedang bergelut dengan sampah.

 

Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu, hari masuk sekolah. Adrenalinnya memuncak, detak jantungnya terasa lebih cepat.

 

Jati mengenakan pakaian terbaiknya, kemeja bekas pemberian Pak RT. Dia  lalu mengambil buku lusuhnya yang sudah terlipat-lipat dan pensil pendek miliknya yang sangat berharga dari tumpukan baju-bajunya. Jati bersiap-siap pergi ke sekolah.

 

Terdengar gemuruh kaki-kaki kecil, berlarian lincah dengan alas seadanya di sepanjang lorong sempit, kumuh, dan bau itu.

 

“Jatiii….ayoo…” teriak seorang anak.

 Jati makin bersemangat.

 

Kaki-kaki itu berlarian menuju ‘sekolah’, sebuah bangunan pendopo sederhana semi permanen, di ujung perkampungan sampah. Ada tulisan “Sekolah Tunas Bangsa” di depannya, dari tripleks dan cat seadanya.

 

“Eh, anu.. Jati… jangan pergi dulu!“ Ibu berkata perlahan.

 

Walaupun perlahan, kata-katanya ibunya bagaikan petir di siang bolong, menusuk tajam hingga telinga Jati. Perasaan Jati mulai tidak enak, ada sesak menyelimuti dadanya.

 

“Kenapa Buu?“ rajuk Jati setengah sedih.

“Tadi Bapak berpesan sebelum berangkat, hari ini kamu nda usah sekolah dulu” jawab ibunya.

 

“Bantuin Bapak di lorong sepuluh, memilah sampah, agar bisa segera disetor ke Koh Akong“ lanjut ibu sambil meneruskan kesibukannya.

 

Jati duduk tersimpuh. Lemas rasa tulang-tulang kakinya. Umurnya masih muda, namun Jati mengerti betul, bahwa tidak menyetor sampah yang bagus ke Koh Akong berarti mereka tidak makan hari itu.

 

Apabila Jati tidak ke sekolah hari ini, artinya Jati baru bisa bertemu dengan bu guru dan pelajarannya tiga hari lagi. - bu guru hanya datang dua kali dalam seminggu ke sekolahnya.

 

Tak terasa, rasa hangat menjalari pelupuk mata Jati, ada yang merembes keluar, mengalirkan sesak dadanya. Buru-buru dihapusnya sebelum tetesan itu jatuh ke pipinya, dengan punggung tangannya yang mungil kehitaman.

 

Dengan berat hati, disimpannya kembali buku dan pensilnya, perlahan dan rapi. Dengan enggan, Jati mengganti bajunya dengan baju yang biasa digunakan untuk membantu bapak.

 

Tanpa menengok, Jati melesat berlari ke arah yang berlawanan dengan sekolah. Masih terdengar suara kaki-kaki teman-temannya berlarian di belakangnya, berlarian menuju sekolah, menuju cita-cita Jati yang tertunda.

 


“Paak… perlu dibantu apa?” tanya Jati

“Ini di gunungan situ belum dipisahkan plastik bagusnya, Jati” jawab bapak

“Setelah itu, masukkan ke dalam karung“ lanjut bapak.

“Jangan lupa pisahkan kertas, karton dan kardusnya, lalu buang yang tidak berharga” bapak berkata cepat.

 

Jati mulai memisahkan plastik, sambil cemberut.

“Kenapa kamu?!” tanya bapak melihat wajah Jati kesal.

Jati berhenti dan menatap bapak, sedikit takut, namun desakan kekesalannya sudah di tenggorokannya.

 

“Ini kan hari sekolah Pak” sahut Jati lirih.

“Apa?” tanya bapak sambil mencondongkan badannya.

 

Suara Jati tenggelam dengan suara deru truk sampah yang baru datang.

”Ini kan hari sekolah, Pak!” Jati mengulang lebih kencang.

 

“Ah… sekolah!” bapak terdengar seperti menggerutu.

“Buat apa sekolah? Sekolah itu buat orang kaya, Jati!“ lanjut bapak.

 

“Kita ini adalah pemulung, Bapakmu ini pemulung, Ibumu juga pemulung“ bapak meneruskan.

“Ya kamu akan jadi pemulung juga, Jati!“ vonis bapaknya.

“Bila kamu beruntung, kamu bisa bekerja pada Koh Akong“.

“Jadi anak buah Koh Akong, itu sudah bagus“.

“Ngerti kamu?!“ bapak menutup pidatonya dengan kalimat pamungkas.

 

Tidak ada perkataan lain yang bisa dijawab Jati apabila bapak sudah mengatakan kalimat pamungkas itu.

 

“Mengerti, Pak“ sahut Jati lirih.

 

Jati kembali tenggelam dalam sampah-sampah plastik, dan segala jenis sampah. Hatinya terasa kecil. Namun di bagian kecil di hatinya, selalu ada ruang yang kerap mengingatkan Jati. Tentang harapan. Ada secercah asa di sana.

 

“Aku tidak mau terus-terusan menjadi pemulung!” Jati bertekad.

“Kata bu guru kalau aku bisa mengikuti ujian Paket A dan lulus, aku bisa setara dengan lulusan SD” Jati teringat perkataan bu gurunya, sambil membayangkan anak-anak SD Inpres tak jauh dari TPA.

 

Terbayang-bayang oleh Jati raut muka bu guru yang ramah dan jutaan ilmu yang terus mengalir dari mulutnya, bagai segarnya air sungai dari pegunungan.

 

Juga pendopo yang disebut sekolah, tempat Jati bisa melihat secercah harapan, bahwa hidup bukan hanya soal sampah. Jati bertekad akan masuk pada hari sekolah berikutnya, walaupun harus melawan bapak.

______________

 

Sang pemulung yang tadi dilihat Jati dari lantai dua, sudah pergi jauh. Bahkan punggungnya-pun sudah tidak tampak, berbaur dengan debu-debu jalanan. Jati tersadar dari lamunannya.

 

Jati melanjutkan pekerjaannya. Menjelang magrib, Jati menyerahkan laporan keuangannya pada Bu Sari.

 

”Saya boleh pulang, Bu?” tanya Jati.

“Oke Jati, semoga besok tidak ada revisi lagi” jawab Bu Sari.

 

Bergegas Jati meninggalkan kantornya. Tidak lupa membeli martabak telur, di depan Detos. Tak lama kemudian, Jati sudah di atas motor, menuju Bantar Gebang.

 

“Assalamualaikum Bu…” Jati memberi salam, di depan bilik kumuh di lorong sampah.

“Waalaikum salam…” jawaban dari dalam, suaranya ibu.

 

Kemudian ibu membukakan pintu, Jati mencium tangan ibunya dan masuk ke dalam. Dia meletakkan martabak telur kesukaan Bapak di meja kayu sederhana dekat dapur.

 

“Bapak mana Bu?” tanya Jati.

“Biasa…. Sedang memisahkan sampah di lorong sepuluh” jawab ibunya.

“Aku ketemu Bapak dulu ya Bu“ Jati berkata sambil beranjak.

 

Jati berjalan di lorong sampah yang begitu dikenalnya. Mengingat masa-masa kecilnya, ketika dia kerap kali membantu bapak memisahkan sampah. Mengingat bu guru di sekolah Tunas Bangsa. Mengingat betapa alotnya perjuangannya, untuk membuat bapak akhirnya mengizinkannya untuk bersekolah.

 

Jati  kemudian berhasil lulus dari Paket A, Paket B, dan Paket C, setara dengan lulusan SMA, dengan bantuan biaya dari Yayasan Mulia. Karena kegigihan dan keuletannya, Jati kemudian ditawari pekerjaan sebagai staf yunior keuangan di Yayasan Mulia. Menjadi staf Bu Sari.

 

“Bapak bangga padamu, Jati” kata-kata bapak yang tidak pernah dilupakan Jati, saat Jati menerima surat pengangkatan karyawan dari Yayasan Mulia, bulan lalu.

 

“Alhamdulillah ya Allah” batin Jati sambil melangkah lebih cepat.

 

Jati ingin segera memberitahukan bapak bahwa martabak kesukaan bapak sudah menunggu di rumah.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng