Bekal Untuk Calon Pengantin #7: H.a.d.i.r

Terinspirasi dari tulisan di blog Aisyah, anak perempuanku yang dalam 15 bulan ke depan rencananya akan melangsungkan pernikahan, kekhawatirannya akan peran sang calon suami yang akan menjadi ayah bagi anaknya, dimana anakku merasakan ada yang "hilang" dimana sosok ayah baginya "tidak hadir" dalam perjalanan hidupnya terutama saat kecil. Juga, beberapa pengamatan akan sosok ayah yang lebih banyak "dirasakan mengecewakan" bagi anak-anaknya.

http://jasmineandherlife.blogspot.sg/2017/12/

Orang tua, bagi anak anak, ada masa masa menjadi "segalanya" saat usia di bawah 10th-an, atau menjadi "segalanya salah", di antara 10-20th-an.

Namun yang terpenting adalah, apakah sosok ibu dan sosok ayah, "hadir" dan "dirasakan perhatian dan kasih sayangnya" oleh anak-anak, dalam perjalanan hidup mereka, sejak sudah bisa mengingat (sekitar usia 3-4th) hingga remaja dan dewasa.

Keputusan menjadi orang tua, adalah keputusan besar, dimana banyak sekali tanggung jawab mengikutinya, seperti:
  • apakah sudah siap mencukupi kebutuhan pokok anak-anak, sejak lahir hingga menjelang dewasa, seperti makanan yang baik/menunjang pertumbuhan yang sehat, pakaian yang cukup layak, pendidikan yang baik, pengobatan yang cukup, dan kebutuhan akan permainan, dan juga tempat tinggal yang layak
  • apakah sudah siap meluangkan waktu setiap hari, ulangi, setiap hari, untuk memastikan bahwa anak-anak sudah dicukupkan segala kebutuhannya, biasanya saat anak kecil, orang tua akan berusaha memastikan setiap hari tercukupi kebutuhannya (gak mungkin kan kita punya anak bayi, makannya cuma dikasih seminggu 3x?), namun dengan berjalannya waktu, kadang orang tua "lupa", karena segala sesuatu sudah "diserahkan" ke istri/ibu, atau ke "baby sitter", atau kadang ke "nenek/kakek", dan "berharap" apabila sudah diberikan uang belanja, maka "pasti" anak anak remaja akan "mengurus diri sendiri"
Memang benar, bahwa anak harus diajarkan untuk "mandiri", karena tidak mungkin orang tua akan "menyuapi" anak SMP misalnya, namun perlu diperhatikan bahwa tanggung jawab mencukupkan masih ada di bahu orang tua, karena orang tua yang tidak mencukupkan, akan "memaksa" anak-anak "mencari nafkah" dengan berbagai cara dan kadang membuat anak bertindak tidak proporsional, dikarenakan belum cukupnya tingkat emosional dan psikologis untuk mengambil tanggung jawab "sebesar itu".
  • kita anggaplah, makan, tempat tinggal layak, pakaian dan pendidikan, serta kesehatan, cukup. Apakah "selesai" tanggung jawab orang tua? Belum! apakah sudah siap calon orang tua memiliki ilmu untuk mendidik anak anak? misalnya:
- mendidik untuk melepaskan dot dan pampers di usia tertentu
- mendidik untuk mengerti tanggung-jawab sesuai usianya
- mendidik untuk mengerti disiplin sesuai usianya
- mendidik untuk mengerti menghadapi kegagalan sesuai usianya
- mendidik untuk pipis pada tempatnya
- mendidik untuk mengerti bahwa dirinya memiliki kelebihan dan kekurangan, dan tidak diajarkan untuk "milik" orang lain selalu "lebih baik" (menjadi minder) atau "lebih buruk" (menjadi sombong)
- mendidik untuk bisa menerima bahwa rambutnya yang keriting, tidak lebih baik ataupun lebih buruk dari temannya yang berambut lurus, hidungnya yang pesek tidak lebih baik maupun lebih buruk dari temannya yang hidungnya mancung, atau kulitnya yang sawo matang tidak lebih baik atau lebih buruk daripada temannya yang kulitnya putih
- mendidik bagaimana menghadapi patah hati
- mendidik bagaimana menghadapi teman yang suka bully
- mendidik bagaimana menghadapi tim organisasi yang sebagian besar "malas dan tidak bertanggung jawab"
- mendidik bagaimana memimpin dan dipimpin
- mendidik untuk bisa bertata bahasa yang sopan
- mendidik untuk bisa menghormati orang lain, namun cukup percaya diri
- mendidik untuk membuat anak bisa mengambil keputusan, dan keputusan yang didasarkan atas pertimbangan yang rasional, sesuai informasi yang didapatkan sebanyak mungkin
- mendidik untuk mencintai dan dicintai
- mendidik untuk memperlakukan wanita dengan hormat (buat anak laki-laki) dan mendidik anak wanita untuk bisa menghargai laki-laki
- mendidik untuk mencintai Tuhan
- dan sebagainya dan sebagainya

Saya sengaja tidak memisahkan tanggung jawab "ibu" dan tanggung jawab "ayah", karena bagi saya, pasangan yang baik seyogyanya mengambil semua tanggung jawab di atas bersama-sama, disesuaikan dengan kondisi pasangan masing-masing. Masing-masing ayah dan ibu, seyogyanya memiliki 100% tanggung jawab dari masing-masing point di atas, karena "pembagian" tanggung jawab akan membuat pasangan memiliki pola pikir yang akan membuat kadang keduanya "saling melempar tanggung jawab", dan itu bukanlah ayah dan ibu yang diharapkan anak-anak.

Bayangkan, sementara sang ayah dan sang ibu "sibuk" mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan yang harus "dibeli", atau "sibuk" stress karena ternyata kebutuhan rumah tangga demikian besar sementara penghasilan tidak jelas, "sibuk" mengurusi orang tua (kakek/nenek), keluarga besar, pekerjaan, kehidupan sosial, reuni-reuni, mengurusi mobil/motor ke bengkel, atau atap rumah atau ledeng yang bocor, mengurusi RT/RW, mengurusi tetangga, ke salon, dan semua hal yang berbau "urusan orang tua", pun tetap tidak boleh melupakan kewajiban mendidik anak seperti yang disebutkan di atas panjang lebar.

Nah.......itu yang banyak "dilupakan". Lupa berkomunikasi setiap hari pada anak-anak mereka, untuk menanyakan apakah di sekolah, di kampus baik-baik, apakah gurunya bermasalah atau menginspirasi, apakah teman temannya baik atau tidak baik, apakah hatinya bahagia atau terluka, apakah perasaannya nyaman atau takut dan khawatir. Lupa memperhatikan mata anak anak apakah mereka aman atau takut, bahagia atau sedih, karena orang tua "sibuk" dengan urusan orang tuanya.

Itulah yang disebut H.A.D.I.R dalam kehidupan anak-anak, setiap hari. Bilapun badan ada di kantor, di waktu break sore kan bisa menyempatkan video call atau line-an.  Hadir-nya orang tua, TIDAK CUKUP hanya ibu ataupun hanya ayah. Masing-masing ayah dan ibu punya karakterisasi sendiri yang membangun kesempurnaan kedewasaan psikologis anak. Apabila timpang, (hanya ayah atau hanya ibu), maka akan ada "ruang kosong" di jiwa anak yang kadang kemudian di-isi dengan berbagai hal yang kurang menjadikan anak menjadi jiwa yang full-filled.

Membuat setiap moment, adalah moment spesial yang akan diingat anak-anak seumur hidup mereka, sesederhana apapun, tapi ada, bukan nanti, menunggu "punya uang", karena setiap hari adalah berharga, dan hari ini yang berlalu, tidak akan kembali lagi. Dan "tiba-tiba" anak-anak sudah "lebih dekat ke teman" atau "tanpa disadari" mengambil "keputusan yang salah", yang bisa membahayakan masa depan mereka sendiri.

Yuk para calon ayah dan calon ibu. Belajar (dari buku-buku dan seminar-seminar parenting) dan Hadir dalam setiap hari kehidupan anak-anak, insya allah kita kemudian bisa berkata, saya sudah melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua, saat sang anak melangkah ke jenjang pernikahan.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Dasar Wanadri, Mau Bikin Anakku jadi Apa?

Skinhead

beng-beng