Hongkong: Kota yang Bersahabat
Pada menjelang akhir
Oktober lalu (22-24 Oktober 2013), aku berkesempatan mengunjungi Hongkong
(Causewaybay) selama 3 hari dalam rangka regional meeting, perjalanan
dinas kantor.
Aku menginap di
Park-Lane Hotel di Causewaybay, yang dekat dengan kantor MJ-HK (Mead Johnson
Hongkong) dan dekat dengan tempat meetingnya.
Hotelnya berada di area keramaian/tengah kota, dekat dengan berbagai
mall dan dekat juga dengan 1 dari hanya beberapa masjid di Hongkong.
Di Hongkong, karena lahan terbatas, café atau toko kebanyakan kecil-kecil, karena sepertinya pemerintah daerahnya sangat memperhatikan perbandingan antara gedung dan resapan tanah dan lahan hijau di tengah kota, sangat terasa udara yang tidak terlalu berpolusi saat berjalan kaki.
3 hari, dengan 2 hari
untuk perjalanan (sekitar 4-6 jam sekali perjalanan melalui udara dan perbedaan
waktu 1 jam) dan 1 hari meeting, sangat sempit waktuku untuk bisa meng-eksplore
kota Hongkong yang baru pertama kalinya aku kunjungi.
Dalam kesempatan
yang sempit, beruntung aku bisa bertemu dengan 2 temanku yang tinggal di
Hongkong, Veve teman SMA 6 dan Imed teman kuliah di FEUI. Veve tinggal di Hongkong setahun terakhir,
sedangkan Imed sudah belasan tahun tinggal di Hongkong bersama keluarganya.
Veve, menemaniku
pergi ke the Peak, naik trem, naik berbagai jenis system transportasi di kota
Hongkong yang memang terkenal mapan dan modern, dari yang hanya 1-2 HKD, naik
taksi dengan taxi driver dengan bahasa Inggris yang terbatas, bahkan berjalan
kaki.
Ini aku ambil dari
Wikipedia mengenai system transportasi di Hongkong:
Hong Kong memiliki
sistem transportasi dalam kota yang mapan dan modern yang terdiri dari kereta api, bus, tram, feri, dan taksi. Hampir semua layanan transportasi dapat
dibayar menggunakan Octopus Card.
Jaringan kereta bawah tanah
dikelola oleh MTR Corporation Limited yang mengelola MTR dan Kowloon-Canton Railway Corporation yang
mengelola KCR sedangkan
layanan tramnya adalah satu-satunya di dunia yang memakai kereta tram dua
tingkat. Jaringan bus dikelola oleh 5 operator yang menggunakan
bus dua tingkat seperti terdapat di London dan Singapura. Terdapat pula layanan taksi yang 99% armadanya menggunakan LPG.
Layanan feri yang paling dikenal adalah Star Ferry yang menyeberangi Victoria Harbour antara Tsim Sha Tsui, Central, Wan Chai, dan Hung Hom.
Beruntungnya aku sempat
mencoba berbagai alat transportasi yang disebutkan di atas, kecuali naik feri. Aku
hanya sempat menikmati pemandangan indah di malam hari ke arah Victoria Harbour
dan Pulau Kowloon, melihat feri hilir mudik, saat diundang gala diner bersama para
bos dari kantor pusat di restoran bagus (fine dining restaurant) yang terletak
di lantai paling atas dari Park-Lane hotel (rooftop), sambil (melihat yang lain)
menikmati wine.
Di setiap ada kesempatan,
aku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di Hongkong, dan terkagum-kagum dengan
kedisiplinan masyarakatnya, mudah dan mapannya alat transportasi umum,
ketepatan waktu alat-alat transportasi itu, taman kota di setiap beberapa ratus
meter, tempat istirahat, tempat duduk-duduk, banyaknya pohon hijau di tengah kota, membuat
para pejalan kaki merasa nyaman, dan yang paling dibanggakan oleh teman-temanku
yang tinggal di Hongkong adalah Hongkong menjadi salah satu kota teraman di
dunia (tingkat kriminal rendah).
Veve juga sempat mengajak
aku mampir ke Abercrombie & Fitch (toko baju). Hanya untuk berfoto bersama
penjaga tokonya, cowok-cowok keren, ganteng, tinggi, seksi dan – maaf –
bertelanjang dada. Pintar memang
pemiliknya menarik minat para ibu-ibu untuk rajin berbelanja di situ, dengan
pramu tokonya seperti itu. Dan tokonya sangaatt wangi, bahkan dari beberapa
puluh meter sebelum masuk tokonya, wanginya sudah tercium, seperti punya
selokan minyak wangi di sekelilingnya.
Imed, saat mengajakku makan
dimsum halal di lantai dasar masjid di Causewaybay, menceritakan bahwa warga
asli Hongkong sangat jujur, pernah ada adiknya berkunjung ke Hongkong, naik
trem (bis dalam kota dengan jalur khusus) dan handbag-nya ketinggalan. Hebatnya, Imed tinggal menelpon perusahaan
trem tsb, dan kemudian tas-nya diamankan di halte berikutnya dan dikembalikan
kepada sang empunya tanpa kurang suatu apa. Wow….aku takjub sambil membayangkan
Jakarta, jangankan ada barang ketinggalan, barang di tas atau kantong saja bisa
lenyap J
Di Hongkong, karena lahan terbatas, café atau toko kebanyakan kecil-kecil, karena sepertinya pemerintah daerahnya sangat memperhatikan perbandingan antara gedung dan resapan tanah dan lahan hijau di tengah kota, sangat terasa udara yang tidak terlalu berpolusi saat berjalan kaki.
Memang orang-orangnya
terkesan kurang ramah, mungkin memang karena keterbatasan berbahasa dan secara
karakter tidak suka mencampuri urusan orang lain.
Ketakjuban aku berikutnya
adalah soal Pajak. Aku sudah lama mengetahui
bahwa Hongkong adalah salah satu tax heaven, tapi yang membuat aku takjub
adalah tingkat kepercayaan masyarakat/rakyat terhadap pemerintah yang tinggi
dan tingkat kepercayaan pemerintah yang tinggi terhadap rakyatnya.
Begini, filosofi pemotongan
dan pemungutan Pajak (withholding tax) adalah untuk menghindari
seseorang/perusahaan tidak membayarkan Pajak atas penghasilan yang diterimanya,
maka tanggung jawabnya dialihkan kepada pemberi penghasilan, untuk memotong dan
menyetorkan ke Negara. Dan dengan berbagai jenis pemotongan Pajak, dan berbagai
aturan yang mengatur berbagai bidang usaha dan transaksi, maka kebanyakan orang
malas untuk mengerti mengenai Pajak (jadi konsultan Pajak laku deh…) dan kadang
tidak mengerti hak dan kewajibannya sebagai wajib Pajak.
Di Hongkong, tidak ada system
pot-put (pemotongan dan pemungutan) pajak.
Sederhana sekali, setiap orang/perusahaan, menghitung sendiri
penghasilannya selama setahun, dan melaporkan melalui website dirjen Pajak setempat,
lalu akan ada nilai Pajak penghasilan yang terutang dan kemudian membayarkan ke
Negara melalui bank.
Negara akan memanfaatkan
uang Pajak rakyat dengan amanah untuk kepentingan rakyat, dan setiap ada
kelebihan Pajak, akan dengan mudah dikembalikan kepada rakyat melalui system.
Imed menceritakan bahwa
sudah beberapa kali tiba-tiba suaminya mendapatkan “uang mendadak” dari
kelebihan Pajak yang dibayarkan pemerintah langsung ke rekeningnya.
Wow….hal itu hanya bisa terjadi
bila tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan tingkat kepercayaan
pemerintah terhadap rakyat sudah tinggi.
Mengingatkan aku pada system perpajakan di Indonesia yang rumit dan
rendahnya tingkat kepercayaan Negara terhadap rakyat dan tingkat kepercayaan
rakyat terhadap pemerintah, karena banyaknya oknum tidak bertanggung jawab
menggunakan uang rakyat bagi kepentingan pribadi, alhasil hampir tidak ada
rakyat yang sukarela membayar Pajak (harus dipaksa dengan system pot-put).
Aku merenung, aku ke
Bangkok, ke Manila, ke Hongkong, ke Kuala Lumpur, dan melihat bahwa secara
kasat mata, di tengah kota, Jakarta lebih keren, lebih sophisticated, lebih
banyak mall bagus, namun tidak ramah bagi pejalan kaki, tidak ramah bagi rakyat
umum. Penikmat Jakarta adalah segolongan kecil orang dengan penghasilan tinggi
dan sangat membuat orang menjadi konsumtif. Mall bertebaran di mana-mana, taman
kota menghilang, tingkat kejahatan tinggi, polusi tinggi, kemacetan luar biasa,
sarana transportasi umum kurang memadai, untuk nyaman, semua urusannya harus
punya uang banyak (naik taksi, ke mall, restaurant, dsb)
Jadi ingat cerita Ridwan,
temanku yang tinggal di Jerman, mengatakan bahwa untuk berakhir pekan dengan
nyaman di Jakarta bersama keluarga (ayah ibu 2 anak), berjalan-jalan ke mall,
membutuhkan sekitar 1 juta rupiah, untuk makan, naik taksi, ngopi dan anak-anak
bermain di tempat bermain. Sedangkan di
Jerman, 1 juta rupiah bisa digunakan untuk 2-3 kali week-end nyaman bersama
keluarga, karena banyak sarana rekreasi berakhir pekan bersama keluarga yang
murah, seperti taman kota, museum, hiking di alam terbuka, berkemah, dan
sebagainya.
Prihatin…. rasanya seharusnya
Jakarta (dan kota besar lain di Indonesia) kita bisa juga seperti itu, dengan kekayaan alam
lebih banyak, penduduk lebih banyak untuk membayar Pajak, tentunya lebih banyak pemasukan negara dan kemudian semestinya kembali dan bisa dinikmati rakyat banyak.
Namun entah kemana
kekayaan Negara kita bocornya, entah siapa yang menikmatinya. Aku mengerti tidak se-sederhana itu, kompleksitas
Negara kita yang berbentuk kepulauan dan rakyatnya banyak (35x penduduk
Hongkong) dengan berbagai permasalahan politik, hukum, ekonomi, sosial,
kesehatan, kesejahteraan , dan sebagainya, namun tetap prihatin rasanya, saat
kita berkunjung ke Negara tetangga, dan merasa “seharusnya Jakarta bisa begini
juga, seandainya saja…… (silakan isi sendiri)”.
Semoga suatu saat nanti…
Comments
Post a Comment