March 19, 2013 - Prakata Ibunda (dalam Autobiografi Aisyah)
Sambutan,
Ibu
Aisyah
Jasmine Yogaswara
Pada
saat mengandung Aisyah, tidak ada kendala yang berarti, namun pada saat proses
melahirkan, membutuhkan waktu cukup lama (27 jam sejak kontraksi pertama),
karena badannya terlilit tali pusar.
Tapi
Alhamdulillah, walaupun prosesnya lama dan panjang, tetapi proses melahirkan
berjalan normal dan Aisyah lahir dengan sehat dan selamat, diawali dengan
tangisan kencang membahana, membawa kebahagiaan bagi aku dan suami, tepat saat
azan subuh berkumandang.
Nama
Ayahnya
Aisyah, Yogaswara, adalah asli orang sunda, tepatnya sukabumi, lahir dan besar
di sukabumi, dan orang tuanya adalah orang sukabumi asli. Sedangkan saya, ibunya Aisyah adalah anak
campuran, ayah saya berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Ibu
berasal dari Yokohama, Jepang, namun saya lahir dan besar di Jakarta.
Memberikan
nama anak adalah excitement
tersendiri, dan nama “Aisyah” adalah ide sang ayahanda, yang menginginkan kelak
anaknya memiliki akhlak dan semangat membangun agama seperti Siti Aisyah RA, Amin…..
Jasmine,
nama tengah Aisyah, diambil dari bunga melati dalam bahasa Inggris. Bunga melati adalah bunga favorit neneknya
Aisyah (Obaasan dalam bahasa Jepang)
yang juga sangat dekat dengan Aisyah, dan tinggal dengan kami, sampai
saat beliau meninggalkan kita pada tahun 2009.
Kedekatan Aisyah dan arti dari bunga melati yang putih, suci, ikhlas dan
harum, membuat kami memberikan nama “Jasmine” sebagai nama tengah Aisyah.
Yogaswara
adalah nama ayahnya Aisyah, yang kami masukkan sebagai nama belakang, karena
memang menurut adat sunda, tidak ada nama marga yang digunakan dalam nama.
Jadilah
lengkapnya: Aisyah Jasmine Yogaswara, ananda yang diharapkan memiliki akhlak,
keberanian dan semangat seperti Siti Aisyah RA, ikhlas dan suci serta dapat
mengharumkan nama keluarga dan agama, seperti bunga melati, anak dari Bapak
Yogaswara.
Karakter dan kemampuan
Aisyah memiliki karakter yang keras, dalam artian segala
keinginannya, dia akan berusaha meraihnya sekeras-kerasnya. Tampak sejak masih bayi, apabila lapar/haus
atau ada sesuatu yang kurang nyaman, tangisannya akan menggema ke seluruh
penjuru rumah, memastikan sang ibunda segera datang memenuhi kebutuhannya.
Aisyah sudah bisa berjalan, walaupun masih agak tertatih
pada bulan ke-10, belum genap 1 tahun umurnya, namun tekadnya untuk bisa
berjalan tampak sangat kuat dan berhasil.
Saat batita, belum bersekolah, tetapi sudah kami masukkan ke pra TK dan
kelompok bermain di sanggar Bobo, tampak dominasinya terhadap teman-teman
terlihat jelas. Karakter
kepemimpinannya, keberaniannya dalam bertanya kepada guru/pembimbing, dan pengaruh
terhadap teman-teman sudah tampak sejak pra TK hingga ke SMP.
Saat SD, tentu bukanlah hal yang mudah, karena dominasi
dan kerasnya karakter dasarnya menjadikan Aisyah kadang berkonflik dengan
teman-teman sebayanya, juga dengan guru-gurunya. Namun dengan banyak buku-buku mengenai parenting dan karakter anak, serta
seminar-seminar yang kita ikuti, kita bisa mengarahkan karakter dasar itu
menjadi hal yang positif dan kekuatan buat sang anak.
Saat SMP, kemampuan pengenalan diri dan pengendalian
karakter sudah mulai berkembang dalam diri Aisyah, sehingga Aisyah sudah mulai
bisa mengendalikan emosi dan efek negative dari karakter dasarnya. Aisyah tetap menjadi “pemimpin” dalam
kelompoknya (di sekolah, dalam berorganisasi maupun di luar sekolah), walaupun
seringkali dia menolak menjadi ketua, namun tetap keputusan dan pandangannya
menjadi penting dalam kelompok tersebut.
Karakter lain yang juga tidak mudah diarahkan, adalah
karakter persaingan yang sangat tinggi.
Kami mengajarkan agar anak-anak tidak hanya bersaing dengan teman-teman,
namun yang jauh lebih penting adalah bersaing melawan kemampuan diri sendiri,
dalam artian, terus berusaha melewati hasil sendiri yang telah pernah dicapai.
Salah satu perjuangan terbesar yang kami lihat dan
banggakan adalah Aisyah tidak mau mengalah terhadap penyakit bawaannya, yaitu
asma.
Dengan tetap berkonsultasi pada dokter dan dengan
buku-buku referensi yang saya baca, Aisyah tumbuh memiliki fisik yang kuat
(dibandingkan teman-teman sebayanya), walaupun Aisyah mengidap penyakit asma.
Segala jenis kegiatan outdoor
sangat disukainya, jogging, berlari, berenang dan sebagainya. Dalam seni bela diri karate, Aisyah sudah
hampir mencapai sabuk hitam, tinggal mengambil ujian akhir. Dan seperti cita-citanya sejak SMP, saat SMA,
Aisyah dengan aktif mengikuti kegiatan pecinta alam yang membutuhkan kemampuan
fisik yang luar biasa, dan berhasil menaklukkan penyakit asmanya.
Prestasi
Aisyah menjadi ketua kelas, sudah langganan,
tentunya. Menjadi juara 1 (pelajar
teladan), sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMP, tidak pernah lepas dari
tangannya. Padahal saya adalah working mother (ibu bekerja), sehingga
waktu saya terbatas dalam memberikan waktu dan didikan dalam masa tumbuh
kembangnya.
Tetapi dengan sedikitnya waktu yang saya miliki, saya
berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menjadi orang yang terdekat dalam
kehidupan anak-anak saya, dengan menggunakan fasilitas-fasilitas (telpon,
webcam, dsb), untuk tetap “hadir” tanpa kehadiran diri saya.
Kami sebagai orang tua tidak pernah focus, hanya pada
hasilnya (menjadi juara kelas misalnya), namun yang terpenting adalah focus
pada prosesnya, dan Alhamdulillah, Aisyah memiliki kemampuan untuk selalu
menjadi yang terbaik dalam apapun yang dilakukannya.
Selain prestasi akademik di sekolah, Aisyah juga
mengikuti perlombaan-perlombaan akademik mewakili sekolahnya dan menyumbangkan
beberapa piala bagi sekolah.
Selain itu, dalam seni bela diri (Taekwondo dan Karate),
Aisyah juga pernah beberapa kali memperoleh medali dan penghargaan, walaupun
untuk tingkat SD.
Kemampuan-nya dalam menulis-pun, terus diasah dengan
mengembangkan blog yang dimilikinya dan sempat memperoleh penghargaan di
sekolah atas tulisan dan puisi yang pernah dibuatnya.
Citra Indah
Sekolah pertama Aisyah adalah TK Ananda di Citra Indah
(pra TK) sebelum masuk ke TKI Cikal Harapan di komplek yang sama, Citra Indah
juga. Kami memilih perumahan Citra
Indah, di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor, untuk membesarkan anak-anak kami,
bukannya tanpa alasan. Memang bila dilihat dari jarak, lumayan jauh ke Jakarta,
tempat saya dibesarkan dan tempat saya menimba ilmu sejak TK hingga
menyelesaikan S1.
Dari beberapa pilihan tempat tinggal di pinggiran
Jakarta, yaitu Bekasi, Tangerang, Cibubur/Bogor dan Depok, pilihan kami jatuh
pada Komplek Citra Indah, di wilayah Jonggol, sekitar 30km dari pintu tol
Cibubur. Saat kami membeli rumah pertama
kami pada tahun 1996, dan mulai ditempati pada September 1997, jalan dari
keluar tol jagorawi menuju jonggol masih lenggang dan bisa dilalui dengan waktu
kurang dari ½ jam saja.
Dekat dengan alam pedesaan, dan tidak ada area pabrikasi
di sekitarnya, sehingga udara dan airnya masih sangat bersih dan alami, dan di
dalam komplek dengan sarana dan prasarana penunjang yang baik, menjadi dasar
pemilihan kami. Bagi kami sebagai
pengantin baru yang tentunya dengan budget terbatas, dan visi ke depan untuk
membangun keluarga dan membesarkan anak-anak di tempat terbaik, Citra Indah
menjadi pilihan terbaik kami saat itu.
Aisyah berumur 5 bulan, saat kami menempati rumah pertama
kami sendiri, dan saat Aisyah berumur 7 tahun kami pindah ke rumah ke-2 kami,
di komplek yang sama dengan ukuran yang lebih memadai, karena kami juga sudah
memiliki adiknya Aisyah, Almas, yang lahir 4 1/2 tahun setelah Aisyah.
Baiknya udara dan air dalam pertumbuhan anak-anak kami,
menjadi penting apalagi anak-anak kami mengidap penyakit asma, sehingga
kekuatan mereka semakin baik dan semakin jarang kambuh, ditambah dengan
latihan-latihan fisik yang teratur.
Aisyah melalui TK, SD dan SMP di Citra Indah, di Sekolah
Islam Cikal Harapan 2, Citra Indah, Jonggol, dari Yayasan Permata Sari yang didirikan
oleh Ibu Etty Mar’i Muhammad. Sekolah
Islam membuat dasar/fondasi yang kuat bagi pemahaman keagamaan dan aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi alasan kami memasukkan anak-anak kami
di sekolah swasta Islam.
Pemilihan SMA
Melanjutkan ke SMA Negri adalah pilihan Aisyah sendiri,
karena ingin mendapatkan pengalaman yang berbeda dari bersekolah di swasta
islam. Namun sekolah negeri yang
bagaimana dan dimana, adalah rekomendasi kami, sebagai orang tua.
Sebetulnya saat kelas 3 SMP, kami sudah menawarkan untuk
pindah ke Jakarta, untuk memperbesar probabilita dapat masuk ke SMA negeri
favorit di Jakarta, namun kecintaan Aisyah pada Cikal Harapan, dan keinginannya
untuk lulus sebagai siswa Cikal Harapan, menjadikan factor tebesar keputusan
kami untuk tetap lulus dari SMPI Cikal Harapan.
Pilihan utama Aisyah sebetulnya adalah SMAN 1 Bogor,
karena bagi Aisyah, pindah ke Jakarta, terlalu besar culture shock-nya, di samping suasana metropolitan yang menurutnya
terlalu hectic, juga suasana sekolah yang pastinya sangat berbeda. Namun sayangnya saat test, nilainya kurang
nol koma sekian, dan kami tidak bersedia untuk “menambah”nya dengan “hal lain”.
Sebagai back-up
pun, kami sudah mendaftarkan Aisyah di SMA Lab School Kebayoran Baru dan
mengikuti ujian saringan masuk. Dari
lebih dari 1200 pelamar, dan hanya diterima 150 siswa, Aisyah lolos test, namun
tetap memutuskan untuk mengikuti test di SMA Negeri.
Untuk memperbesar peluang masuk diterima di SMA Negeri
favorit di Jakarta, kami memilihkan beberapa SMA RSBI (karena ada ujian masuk,
tidak hanya berdasarkan nilai NEM murni), dan melakukan survey. Akhirnya pilihan jatuh pada SMAN 70 Jakarta,
yang dengan beberapa pertimbangan, menjadi pilihan terbaik.
Alasan utamanya adalah karena SMAN 70 memiliki peluang
undangan dari Universitas Negeri salah satu yang terbanyak dari SMA-SMA lain,
dan tingkat pendaftar yang sedikit lebih sedikit dibandingkan SMAN favorit
lain, karena SMAN 70 terkenal dengan bullying
dan tawurannya.
Dari jatah kursi untuk pendaftar luar Jakarta hanya 5%,
yaitu 16 bangku, Alhamdulillah, Aisyah masuk menjadi salah satu yang diterima.
Menjadi “Anak Jakarta”
Saya, ibunya, adalah lulusan SMAN 6 Jakarta, tahun
1989. Aisyah menjadi anak SMAN 70 Jakarta, pada tahun
2012. 23 tahun terpaut, namun tetap SMAN
6 dan SMAN 70 adalah musuh bebuyutan yang sampai akhir tahun 2012 lalu (tragedi
Alawy).
Tawuran dan bullying menjadi merk SMAN 70, disamping prestasi-prestasi lain yang sebetulnya
sangat banyak, baik akademik maupun non akademik (eks-kul). SMAN 70 tetap menjadi yang terdepan dalam
banyak dan majunya eks-kul sekolah.
Dari anak daerah (Jonggol-Bogor), yang bersekolah di
sekolah swasta Islam di dalam komplek perumahan, dimana kita mengenal para
tetangga, dan teman sekolah adalah juga teman bermain di rumah. Di mana para guru-guru dekat dengan anak-anak
murid, ada murid yang bolos, langsung ketahuan, bahkan bisa dijemput di warnet
dekat sekolah, dimana murid-murid berprestasi seperti Aisyah adalah kebanggaan
sekolah, dan rumah guru-guru dan kepala sekolah adalah tempat anak-anak
bermain. Dimana kedekatan dengan
teman-teman satu kelas demikian dekat dan kompak, bahkan dengan kakak-kakak dan
adik-adik kelas, bahkan adik-adik SD, Aisyah menjadi siswa SMAN 70 Jakarta.
Dimana, muridnya sangat banyak (hampir 1000 siswa dari
kelas X sampai XII), sehingga belum tentu saling mengenal satu sama lain. Dimana guru-guru juga banyak dan belum tentu
mengenal satu persatu murid-muridnya.
Dimana guru-guru kadang masuk, kadang tidak, kadang bisa dimengerti
pelajarannya, kadang asal mengajar, bahkan tidak pernah masuk 1 semester sampai
ulangan.
Dan terparah, adalah suasana “mencekam” murid-murid
junior yang sengaja diciptakan oleh para senior, dengan bullying yang kejam, rejej, aturan-aturan tidak tertulis yang tidak
masuk akal, dan kolekan yang
menghabiskan dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah demi kepentingan para
senior, untuk kepentingan yang tidak jelas.
Semua itu membuat Aisyah, walaupun sudah saya persiapkan
mentalnya untuk menjadi anak SMA Negeri di Jakarta, tetap sangat shock. 3 bulan pertama sekolah, adalah nightmare bagi Aisyah, tiap hari pulang
sekolah menangis dan meminta untuk pindah sekolah. Saya bahkan sudah mensurvey beberapa SMAN
lain untuk Aisyah pindah pada semester 2.
Untunglah, (berkah dari tragedy Alawy), walaupun sangat
memprihatinkan, dan melukai banyak sekali orang dengan meninggalnya Alawy anak
SMAN 6, akibat tawuran ditusuk anak SMAN 70, tawuran menahun antara SMAN 6 dan
SMAN 70 menjadi hot topic bagi pemberitaan media. Exposure
yang luar biasa dari media, menyoroti masalah pelik mengenai tawuran pelajar,
dan kemudian juga membongkar urusan bullying
di sekolah, menjadikan SMAN 70 (para senior dan alumni) yang ingin melestarikan
budaya bullying menjadi mati langkah.
Maka perlahan-lahan, walaupun tidak bisa dibasmi 100%,
keberanian Aisyah (dan siswa junior lain) mulai bangkit. Sudah bisa tidak menunduk-nunduk di depan
senior, bisa melewati lorong-lorong dan tangga-tangga yang tadinya tidak bisa
dilalui, bila terpaksa, sudah tidak perlu menggunakan sepatu px dan tas hitam,
bisa jajan di kantin, walaupun belum sebebas para senior, tapi lumayanlah,
daripada tidak sarapan atau makan siang, bisa sholat di mesjid sekolah, dan
terutama, tidak ketar-ketir setiap pulang sekolah, takut “diculik” senior untuk
di-rejej.
Eks-kul pecinta alamnya, Sisgahana, juga menjadi salah
satu “penyelamat” Aisyah dan mampu mengurungkan niatnya untuk pindah
sekolah. Kecintaannya pada Sisgahana,
kekeluargaan yang ditawarkan para senior Sisgahana, walaupun pendidikan dan
pelatihannya sangat keras, namun “perlindungan” para senior menjadikan Aisyah
bisa lumayan mendapatkan dukungan di sekolah.
Menjadi satu-satunya siswa daerah dari SMPI Cikal Harapan
Bogor, tanpa teman, tanpa kenalan senior, dan “kerasnya” suasana SMA negeri di
Jakarta, terutama yang terkenal paling sadis senioritas dan bullying-nya, suasana beradaptasi adalah
hal terberat yang bisa dilalui Aisyah.
Kini, dengan slayer merah di lehernya, dan dukungan
terutama dari wali kelas sebelumnya, Ibu Wahyuni, Aisyah sudah mulai agak
nyaman menjadi “anak Jakarta”. Dengan
mengikuti pelatihan dan pendidikan kepemimpinan di Lido, juga di sekolah, dan
kemarin mengikuti seleksi Paskibraka Jak-Sel, juga menjadi anggota karate SMAN
70 dan mengikuti pertandingan di Bulcup, perlahan-lahan Aisyah mulai bisa
kembali “menjadi Aisyah yang percaya diri, berani, berjiwa pemimpin, banyak
teman dan mulai mengukir prestasi”, setelah sempat down, menjadi pemurung, takut bersekolah dan boro-boro memikirkan
prestasi, memikirkan keselamatan diri saja sudah berat.
Semoga Aisyah, di SMAN 70, bisa mengukir prestasi
mengharumkan nama sekolah dan menikmati masa-masa paling indah dalam masa
remaja, yaitu masa SMA dan melalui SMAN 70 dapat membantu cita-citanya untuk
masuk (lebih baik lagi mendapatkan undangan) dari Universitas Negeri dan
memperoleh beasiswa bersekolah di Jerman.
Amin.
terima kasih sudah sharing. Anak saya perempuan tertarik utk daftar di SMA 70, tp dengar kasus2 bullying jadi ciut mentalnya. Apakah sekarang bullying msh terjadi utk anak2 baru? boleh tolong share tipsnya apa saja yg harus dilakukan. Apakah SMA 70 lebih bagus prestasinya dari SMA 6? Mohon sharingnya lebih lanjut. Thanks
ReplyDeleteIbu Arini. Terima kasih atas komentarnya. Semoga belum terlambat ya. SMA 70 masih lumayan banyak yang diterima di universitas negri yg bagus, undangan dan test bisa mencapai 30%. SMA 6 lebih sedikit. Soal tawuran sudah nyaris tidak ada di SMA 70 tapi senioritas masih ada walaupun tidak sesadis dulu sebelum kasus Alawy. Namanya SMA Negri ya harap maklum ya dengan berbagai keterbatasan, namun bukan tempat yg terlalu jelek juga buat belajar kemandirian. Saya sih rencananya akan memasukkan adiknya di SMA 70 lagi. Prestasinya lumayan banyak juga. Semoga membantu.
ReplyDelete